MOTO

Ada Pepatah bahwa Kalau kita ingin selalu ingat maka kita harus selalu melihat dan mendengar, tetapi untuk melihat dan mendengar tidaklah gampang kecuali orang-orang yang mengetahui tip untuk melihat dan mendengar. Oleh karena menjadi pribadi yang baik manakala baik dalam melihat mendengar melihat dan mendengar hanya sepotong-sepotong akan membahayakan diri sendiri dan orang lain.

Minggu, 06 Mei 2012

Memupuk Rasa Percaya diri


Memupuk Rasa Percaya Diri



Pernahkah anda mengalami krisis kepercayaan diri atau dalam bahasa sehari-hari "tidak pede" dalam menghadapi suatu situasi atau persoalan? Saya yakin hampir setiap orang pernah mengalami krisis kepercayaan diri  dalam rentang kehidupannya, sejak masih anak-anak hingga dewasa bahkan sampai usia lanjut.  Ruang konseling di website inipun banyak diwarnai dengan pertanyaan seputar kasus-kasus yang berhubungan dengan krisis kepercayaan diri tersebut. Sudah tentu, hilangnya rasa percaya diri menjadi sesuatu yang amat mengganggu, terlebih ketika dihadapkan pada tantangan atau pun situasi baru. Individu sering berkata pada diri sendiri, “dulu saya tidak penakut seperti ini....kenapa sekarang jadi begini ?” ada juga yang berkata:  "kok saya tidak seperti dia,...yang selalu percaya diri...rasanya selalu saja ada yang kurang dari diri saya...saya malu menjadi diri saya!”
Menyikapi kondisi seperti tersebut diatas maka akan muncul pertanyaan dalam benak kita: mengapa rasa percaya diri begitu penting dalam kehidupan individu. Lalu apakah kurangnya rasa percaya diri dapat diperbaiki sehingga tidak menghambat perkembangan individu dalam menjalankan tugas sehari-hari maupun dalam hubungan interpersonal. Jika memang rasa kurnag percaya diri dapat diperbaiki, langkah-langkah apakah yang harus dilakukan? Pertanyaan-pertanyaan inilah yang akan saya jawab dalam artikel ini.
Kepercayaan Diri
Kepercayaan diri adalah sikap positif seorang individu yang memampukan dirinya untuk mengembangkan penilaian positif baik terhadap diri sendiri maupun  terhadap lingkungan/situasi yang dihadapinya. Hal ini bukan berarti bahwa individu tersebut mampu dan kompeten melakukan segala sesuatu seorang diri, alias “sakti”. Rasa percaya diri yang tinggi sebenarnya hanya merujuk pada adanya beberapa aspek dari kehidupan individu tersebut dimana ia merasa memiliki kompetensi, yakin, mampu dan percaya bahwa dia bisa – karena didukung oleh pengalaman, potensi aktual, prestasi serta harapan yang realistik terhadap diri sendiri.  
Karakteristik
Karakteristik atau ciri-ciri Individu yang percaya diri
Beberapa ciri atau karakteristik individu yang mempunyai rasa percaya diri yang proporsional, diantaranya adalah :
1)    Percaya akan kompetensi/kemampuan diri, hingga tidak membutuhkan pujian, pengakuan, penerimaan, atau pun rasa hormat orang lain
2)    Tidak terdorong untuk menunjukkan sikap konformis demi diterima oleh orang lain atau kelompok
3)    Berani menerima dan menghadapi penolakan orang lain – berani menjadi diri sendiri
4)    Punya pengendalian diri yang baik (tidak moody dan emosinya stabil)
5)    Memiliki internal locus of control (memandang keberhasilan atau kegagalan, tergantung dari usaha diri sendiri dan tidak mudah menyerah pada nasib atau keadaan serta tidak tergantung/mengharapkan bantuan orang lain)
6)    Mempunyai cara pandang yang positif terhadap diri sendiri, ornag lain dan situasi di luar dirinya
7)    Memiliki harapan yang realistik terhadap diri sendiri, sehingga ketika harapan itu tidak terwujud, ia tetap mampu melihat sisi positif dirinya dan situasi yang terjadi.
Karakteristik atau ciri-ciri Individu yang kurang percaya diri 
Beberapa ciri atau karakteristik individu yang kurang percaya diri, diantaranya adalah:
1)    Berusaha menunjukkan sikap konformis, semata-mata demi mendapatkan pengakuan dan penerimaan kelompok
2)    Menyimpan rasa takut/kekhawatiran terhadap penolakan
3)    Sulit menerima realita diri (terlebih menerima kekurangan dir) dan memandang rendah kemampuan diri sendiri – namun di lain pihak memasang harapan yang tidak realistik terhadap diri sendiri
4)    Pesimis, mudah menilai segala sesuatu dari sisi negatif
5)    Takut gagal, sehingga menghindari segala resiko dan tidak berani memasang target untuk berhasil
6)    Cenderung menolak pujian yang ditujukan secara tulus (karena undervalue diri sendiri)
7)    Selalu menempatkan/memposisikan diri sebagai yang terakhir, karena menilai dirinya tidak mampu
8)    Mempunyai external locus of control (mudah menyerah pada nasib, sangattergantung pada keadaan dan pengakuan/penerimaan serta bantuan orang lain
Perkembangan Rasa Percaya Diri 
Pola Asuh
Para ahli berkeyakinan bahwa kepercayaan diri bukanlah diperoleh secara instant, melainkan melalui proses yang berlangsung sejak usia dini, dalam kehidupan bersama orangtua. Meskipun banyak faktor yang mempengaruhi kepercayaan diri seseorang, namun faktor pola asuh dan interaksi di usia dini, merupakan faktor yang amat mendasar bagi pembentukan rasa percaya diri. Sikap orangtua, akan diterima oleh anak sesuai dengan persepsinya pada saat itu. orangtua yang menunjukkan kasih, perhatian, penerimaan, cinta dan kasih sayang serta kelekatan emosional yang tulus dengan anak, akan membangkitkan rasa percara diri pada anak tersebut. Anak akan merasa bahwa dirinya berharga dan bernilai di mata orangtuanya. Dan, meskipun ia melakukan kesalahan, dari sikap orangtua anak melihat bahwa dirinya tetaplah dihargai dan dikasihi. Anak dicintai dan dihargai bukan tergantung pada prestasi atau perbuatan baiknya, namun karena eksisitensinya. Di kemudian hari anak tersebut akan tumbuh menjadi individu yang mampu menilai positif dirinya dan mempunyai harapan yang realistik terhadap diri – seperti orangtuanya meletakkan harapan realistik terhadap dirinya.
Lain halnya dengan orangtua yang kurang memberikan perhatian pada anak, atau suka mengkritik, sering memarahi anak namun kalau anak berbuat baik tidak pernah dipuji, tidak pernah puas dengan hasil yang dicapai oleh anak, atau pun seolah menunjukkan ketidakpercayaan mereka pada kemampuan dan kemandirian anak dengan sikap overprotective yang makin meningkatkan ketergantungan. Tindakan overprotective orangtua, menghambat perkembangan kepercayaan diri pada anak karena anak tidak belajar mengatasi problem dan tantangannya sendiri – segala sesuatu disediakan dan dibantu orangtua. Anak akan merasa, bahwa dirinya buruk, lemah, tidak dicintai, tidak dibutuhkan, selalu gagal, tidak pernah menyenangkan dan membahagiakan orangtua. Anak akan merasa rendah diri di mata saudara kandungnya yang lain atau di hadapan teman-temannya.
Menurut para psikolog, orangtua dan masyarakat seringkali meletakkan standar dan harapan yang kurang realistik terhadap seorang anak atau pun individu. Sikap suka membanding-bandingkan anak, mempergunjingkan kelemahan anak, atau pun membicarakan kelebihan anak lain di depan anak sendiri, tanpa sadar menjatuhkan harga diri anak-anak tersebut.  Selain itu, tanpa sadar masyarakat sering menciptakan trend yang dijadikan standar patokan sebuah prestasi atau pun penerimaan sosial.
Pola Pikir Negatif
Dalam hidup bermasyarakat, setiap individu mengalami berbagai masalah, kejadian, bertemu orang-orang baru, dsb. Reaksi individu terhadap seseorang atau pun sebuah peristiwa, amat dipengaruhi oleh cara berpikirnya. Individu dengan rasa percaya diri yang lemah, cenderung mempersepsi segala sesuatu dari sisi negatif. Ia tidak menyadari bahwa dari dalam dirinya lah semua negativisme itu berasal.  Pola pikir individu yang kurang percaya diri, bercirikan antara lain:
1)    Menekankan keharusan-keharusan pada diri sendiri (“saya harus bisa begini...saya harus bisa begitu”). Ketika gagal, individu tersebut merasa seluruh hidup dan masa depannya hancur.
2)    Cara berpikir totalitas dan dualisme : “kalau saya sampai gagal, berarti saya memang jelek”
3)    Pesimistik yang futuristik : satu saja kegagalan kecil, individu tersebut sudah merasa tidak akan berhasil meraih cita-citanya di masa depan. Misalnya, mendapat nilai C pada salah satu mata kuliah, langsung berpikir dirinya tidak akan lulus sarjana.
4)    Tidak kritis dan selektif terhadap self-criticism : suka mengkritik diri sendiri dan percaya bahwa dirinya memang pantas dikritik.
5)    Labeling : mudah menyalahkan diri sendiri dan memberikan sebutan-sebutan negatif, seperti “saya memang bodoh”...”saya ditakdirkan untuk jadi orang susah”, dsb....
6)    Sulit menerima pujian atau pun hal-hal positif dari orang lain : ketika orang memuji secara tulus, individu langsung merasa tidak enak dan menolak mentah-mentah pujiannya. Ketika diberi kesempatan dan kepercayaan untuk menerima tugas atau peran yang penting, individu tersebut langsung menolak dengan alasan tidak pantas dan tidak layak untuk menerimanya.
7)    Suka mengecilkan arti keberhasilan diri sendiri : senang mengingat dan bahkan membesar-besarkan kesalahan yang dibuat, namun mengecilkan keberhasilan yang pernah diraih. Satu kesalahan kecil, membuat individu langsung merasa menjadi orang tidak berguna.
Memupuk Rasa Percaya Diri 
Untuk menumbuhkan rasa percaya diri yang proporsional maka individu harus memulainya dari dalam diri sendiri. Hal ini sangat penting mengingat bahwa hanya individu yang bersangkutan yang dapat mengatasi rasa kurang percaya diri yang sedang dialaminya. Beberapa saran berikut mungkin layak menjadi pertimbangkan jika anda sedang mengalami krisis kepercayaan diri.  
1. Evaluasi diri secara obyektif
Belajar menilai diri secara obyektif dan jujur. Susunlah daftar “kekayaan” pribadi, seperti prestasi yang pernah diraih, sifat-sifat positif, potensi diri baik yang sudah diaktualisasikan maupun yang belum, keahlian yang dimiliki, serta kesempatan atau pun sarana yang mendukung kemajuan diri.  Sadari semua asset-asset berharga Anda dan temukan asset yang belum dikembangkan. Pelajari kendala yang selama ini menghalangi perkembangan diri Anda, seperti : pola berpikir yang keliru, niat dan motivasi yang lemah, kurangnya disiplin diri, kurangnya ketekunan dan kesabaran, tergantung pada bantuan orang lain, atau pun sebab-sebab eksternal lain. Hasil analisa dan pemetaan terhadap SWOT (Strengths, Weaknesses, Obstacles and Threats) diri, kemudian digunakan untuk membuat dan menerapkan strategi pengembangan diri yang lebih realistik.
2. Beri penghargaan yang jujur terhadap diri
Sadari dan hargailah sekecil apapun keberhasilan dan potensi yang anda miliki. Ingatlah bahwa semua itu didapat melalui proses belajar, berevolusi dan transformasi diri sejak dahulu hingga kini. Mengabaikan/meremehkan satu saja prestasi yang pernah diraih, berarti mengabaikan atau menghilangkan satu jejak yang membantu Anda menemukan jalan yang tepat menuju masa depan. Ketidakmampuan menghargai diri sendiri, mendorong munculnya keinginan yang tidak realistik dan berlebihan; contoh: ingin cepat kaya, ingin cantik, populer, mendapat jabatan penting dengan segala cara. Jika ditelaah lebih lanjut semua itu sebenarnya bersumber dari rasa rendah diri yang kronis, penolakan terhadap diri sendiri, ketidakmampuan menghargai diri sendiri – hingga berusaha mati-matian menutupi keaslian diri.
3. Positive thinking
Cobalah memerangi setiap asumsi, prasangka atau persepsi negatif yang muncul dalam benak Anda. Anda bisa katakan pada diri sendiri, bahwa nobody’s perfect dan it’s okay if I made a mistake. Jangan biarkan pikiran negatif berlarut-larut karena tanpa sadar pikiran itu akan terus berakar, bercabang dan berdaun. Semakin besar dan menyebar, makin sulit dikendalikan dan dipotong. Jangan biarkan pikiran negatif menguasai pikiran dan perasaan Anda. Hati-hatilah agar masa depan Anda tidak rusak karena keputusan keliru yang dihasilkan oleh pikiran keliru. Jika pikiran itu muncul, cobalah menuliskannya untuk kemudian di re-view kembali secara logis dan rasional. Pada umumnya, orang lebih bisa melihat bahwa pikiran itu ternyata tidak benar.
4.  Gunakan self-affirmation
Untuk memerangi negative thinking, gunakan self-affirmation yaitu berupa kata-kata yang membangkitkan rasa percaya diri. Contohnya: 
1)    Saya pasti bisa !!
2)    Saya adalah penentu dari hidup saya sendiri. Tidak ada orang yang boleh menentukan hidup saya !
3)     Saya bisa belajar dari kesalahan ini. Kesalahan ini sungguh menjadi pelajaran yang sangat berharga karena membantu saya memahami tantangan
4)     Sayalah yang memegang kendali hidup ini

5. Berani mengambil resiko
Berdasarkan pemahaman diri yang obyektif, Anda bisa memprediksi resiko setiap tantangan yang dihadapi. Dengan demikian, Anda tidak perlu menghindari setiap resiko, melainkan lebih menggunakan strategi-strategi untuk menghindari, mencegah atau pun mengatasi resikonya. Contohnya, Anda tidak perlu menyenangkan orang lain untuk menghindari resiko ditolak. Jika Anda ingin mengembangkan diri sendiri (bukan diri seperti yang diharapkan orang lain), pasti ada resiko dan tantangannya. Namun, lebih buruk berdiam diri dan tidak berbuat apa-apa daripada maju bertumbuh dengan mengambil resiko. Ingat: No Risk, No Gain.
6. Belajar mensyukuri dan menikmati rahmat Tuhan
Ada pepatah mengatakan yang mengatakan orang yang paling menderita hidupnya adalah orang yang tidak bisa bersyukur pada Tuhan atas apa yang telah diterimanya dalam hidup. Artinya, individu tersebut tidak pernah berusaha melihat segala sesuatu dari kaca mata positif. Bahkan kehidupan yang dijalaninya selama ini pun tidak dilihat sebagai pemberian dari Tuhan. Akibatnya, ia tidak bisa bersyukur atas semua berkat, kekayaan, kelimpahan, prestasi, pekerjaan, kemampuan, keahlian, uang, keberhasilan, kegagalan, kesulitan serta berbagai pengalaman hidupnya. Ia adalah ibarat orang yang selalu melihat matahari tenggelam, tidak pernah melihat matahari terbit. Hidupnya dipenuhi dengan keluhan, rasa marah, iri hati dan dengki, kecemburuan, kekecewaan, kekesalan, kepahitan dan keputusasaan. Dengan “beban” seperti itu, bagaimana individu itu bisa menikmati hidup dan melihat hal-hal baik yang terjadi dalam hidupnya? Tidak heran jika dirinya dihinggapi rasa kurang percaya diri yang kronis, karena selalu membandingkan dirinya dengan orang-orang yang membuat “cemburu” hatinya. Oleh sebab itu, belajarlah bersyukur atas apapun yang Anda alami dan percayalah bahwa Tuhan pasti menginginkan yang terbaik untuk hidup Anda.
7. Menetapkan tujuan yang realistik
Anda perlu mengevaluasi tujuan-tujuan yang Anda tetapkan selama ini, dalam arti apakah tujuan tersebut sudah realistik atau tidak. Dengan menerapkan tujuan yang lebih realistik, maka akan memudahkan anda dalam mencapai tujuan tersebut. Dengan demikian anda akan menjadi lebih percaya diri dalam mengambil langkah, tindakan dan keputusan dalam mencapai masa depan, sambil mencegah terjadinya resiko yang tidak diinginkan.
Mungkin masih ada beberapa cara lain yang efektif untuk menumbuhkan rasa percaya diri. Jika anda dapat melakukan beberapa hal serpti yang disarankan di atas, niscaya anada akan terbebas dari krisis kepercayaan diri.  Namun demikian satu hal perlu diingat baik-baik adalah jangan sampai anda mengalami over confidence atau rasa percaya diri yang berlebih-lebihan/overdosis. Rasa percaya diri yang overdosis bukanlah menggambar kondisi kejiwaan yang sehat karena hal tersebut merupakan rasa percaya diri yang bersifat semu.
Rasa percaya diri yang berlebihan pada umumnya tidak bersumber dari potensi diri yang ada, namun lebih didasari oleh tekanan-tekanan yang mungkin datang dari orangtua dan masyarakat (sosial), hingga tanpa sadar melandasi motivasi individu untuk “harus” menjadi orang sukses. Selain itu, persepsi yang keliru pun dapat menimbulkan asumsi yang keliru tentang diri sendiri hingga rasa percaya diri yang begitu besar tidak dilandasi oleh kemampuan yang nyata. Hal ini pun bisa didapat dari lingkungan di mana individu di besarkan, dari teman-teman (peer group) atau dari dirinya sendiri (konsep diri yang tidak sehat). Contohnya, seorang anak yang sejak lahir ditanamkan oleh orang tua, bahwa dirinya adalah spesial, istimewa, pandai, pasti akan menjadi orang sukses, dsb – namun dalam perjalanan waktu anak itu sendiri tidak pernah punya track record of success yang riil dan original (atas dasar usahanya sendiri). Akibatnya, anak tersebut tumbuh menjadi seorang manipulator dan dan otoriter – memperalat, menguasai dan mengendalikan orang lain untuk mendapatkan apa yang dia inginkan. Rasa percaya diri pada individu seperti itu tidaklah didasarkan oleh real competence, tapi lebih pada faktor-faktor pendukung eksternal, seperti kekayaan, jabatan, koneksi, relasi, back up power keluarga, nama besar orangtua, dsb. Jadi, jika semua atribut itu ditanggalkan, maka sang individu tersebut bukan siapa-siapa.



Inovasi diri



Inovasi diri
Dalam bukunya “Only The Paranoid Survive” (Currency New York: 1996), Andy Grove menceritakan banyak hal tentang lingkungan bisnis, keputusan dan eksekusi yang dijalankan sehubungan dengan posisinya sebagai CEO dari Intel Co. Langkah Grove mengubah core business dari chip memory ke microprocessor dinilai banyak pihak sebagai kesuksesan bertindak. Sebelumnya, Intel dihadapkan pada banyak dilemma menghadapi serangan produk Jepang yang telah lebih dulu menguasai pasar chip memory di samping juga dilihat dari resource usaha, manufaktur Jepang itu lebih kuat.  
Saat itu Grove menghadapi tiga pilihan yang sama-sama tidak mudah. Pilihan pertama berupa ‘low cost strategy’. Kalau ingin mengalahkan perusahaan Jepang, Intel harus banting harga. Pilihan kedua, kalau tidak sanggup banting harga, Intel harus bermain dalam ceruk pasar yang kecil,  'Niche Market strategy’.  Inipun tidak gampang karena konsekuensinya berupa tuntutan pada stabilitas dan margin profit. Ketiga, innovasi produk. Kalau ingin menang, tuntutannya berupa memperbaiki produk supaya lebih terjangkau oleh pasar dengan kualitas lebih dan, yang paling penting, tidak gampang ditiru oleh manufaktur Jepang.
Intel akhirnya memilih pilihan ketiga. Pilihan tersebut ternyata tepat sehingga kemudian mengantarkan Grove dinobatkan  "Man of the year" versi Time magazine, 1997. Inovasi Intel menurut pendapat Grove diawali dari keberanian eksperimentasi dan fleksibilitas dalam menjalankan perubahan produk.  Saat itu dinilai tidak cukup bagi Intel hanya mengandalkan strategi ‘clear vision’ dan ‘stable’ tetapi perlu mengubah konsep berpikir. Seperti diakui Grove: “If company is experiencing rigidity in thinking and resistance to change , that company will not survive in high speed global market place”.
Belajar dari langkah Grove yang memulai kesuksesannya dengan menggunakan kata kunci inovasi, rasanya tidak salah kalau kata kunci itu kita gunakan untuk mengawali kesuksesan dalam konteks pengembangan diri.  Kenyataannya,  sekedar inovasi semata sudah tak terhitung yang memahami dan mempraktekkannya baik di tingkat organisasi atau pribadi, tetapi  kebanyakan mandul atau gagal.  Lalu agar tidak gagal, format pemahaman inovasi seperti apakah yang mestinya digunakan?

Menyeluruh
Kasarnya, bicara ide cemerlang tentu dapat ditemukan di kepala banyak orang atau organisasi, tetapi inovasi tidak berhenti pada ide cemerlang. Tidak pula berupa tindakan yang semata-mata berbeda dengan orang lain sebab inovasi bukan sebuah konsep tunggal dalam arti berubah hanya untuk sekedar berubah (change for the sake of change). Inovasi yang sesungguhnya adalah inovasi yang dipahami sebagai pelaksanaan konsep secara menyeluruh mencakup komponen dan segmennya.  Mengacu pada pendapat Beth Webster dalam “Innovation: we know we need it but how   do we do it” (Harbridge Consulting Group: 1990), inovasi adalah menemukan atau mengubah   materi pekerjaan atau cara menyelesaikan pekerjaan secara lebih baik.  Dengan definisi ini inovasi mengandung dua komponen: yaitu penemuan (invention),  dan pelaksanaan (implementation), dimana pada tiap komponen terdiri atas empat segmen:
1)    Kreativitas – Generating new ideas
2)     Visi – Knowing where you want to get with it
3)    Komitmen – Mobilizing to get there
4)    Manajamen – Planning and working to get there
Menjalankan inovasi diawali dari eksplorasi untuk menemukan sesuatu yang baru dalam bentuk yang lebih tanpa meninggalkan perangkat lama yang masih baik. Tidak berhenti pada menemukan ide lebih baik, inovasi menuntut langkah berikutnya berupa pelaksanaan uji-realitas. Dalam kasus Intel, Grove menamakannya dengan istilah keberanian eksperimen. Pantas diberi embel-embel keberanian karena eksperimentasi punya resiko paling tinggi terhadap kegagalan sehingga dalam prakteknya banyak orang mengatakan TIDAK terhadap inovasi karena rasa takut menerima resiko itu. 
Selain resiko kegagalan, hambatan di tingkat konsep, praktek, strategi, tekhnis, diri sendiri  dan orang lain juga kerap muncul. Untuk menciptakan solusi yang dibutuhkan, maka kreativitas para innovator berperan. Kreativitas solusi ini diwujudkan dalam bentuk jumlah alternatif solusi terhadap situasi dengan  cara mengubah, mengkombinasikan, mengindentifikasi celah destruktif dari sesuatu yang sudah mapan (established). Menurut riset ilmiah, kuantitas solusi alternatif punya korelasi dengan kualitas solusi. Jadi kreativitas bertumpu pada kemampuan memiliki pola baru dalam melihat  hubungan antar obyek  yang dilahirkan dari sudut pandang adanya ‘possibility’,  dan mempertanyakan sesuatu  untuk memperoleh  jawaban lebih baik. Seorang pakar kreativitas, Arthur Koestler, mengatakan: “Every creative act involve a new innocent of perception, liberated from cataract of accepted belief”.
Dalam menjalankan kreativitas menciptakan solusi, innovator perlu memiliki kemampuan menyalakan lampu petunjuk yaitu visi – having clear sense of direction. Artinya, bentuk inovasi seperti apakah yang dilihat secara jelas oleh imajinasi innovator? Semakin jelas padanan fisik dari tujuan inovasi  bisa disaksikan oleh penglihatan mental, maka akan semakin menjadi obyek yang satu atau utuh. Kembali pada pengetahuan tentang pikiran yang baru akan bekerja kalau difokuskan pada obyek utuh, kalau obyeknya masih terpecah tidak karuan, dengan sendirinya pikiran memilih untuk diam atau kacau. Bagaimana mengutuhkan obyek sasaran dalam kaitan dengan kemampuan visualisasi ini? 
Merujuk pada pendapat Shakti Gawain dalam “Creative Visualization” (Creating Strategies Inc.: 2002), para innovator perlu melewati empat tahapan proses untuk menajamkan visinya, yaitu:  
1. Memiliki tujuan yang jelas
2. Memiliki potret mental yang jelas dari sebuah obyek yang diinginkan
3.  Memiliki ketahanan konsentrasi terhadap obyek atau tujuan
4.    Memiliki energi, pikiran, keyakinan positif
Di atas dari semua komponen dan segmen di atas, roh dari inovasi adalah komitmen yang membedakan antara ‘make or let things happen'. Inovasi menuntut komitmen pada ‘make’, bukan membiarkan ide cemerlang menemukan jalannya sendiri di lapangan. Komitmen adalah menolak berbagai macam ‘excuses’ yang tidak diperlukan oleh inovasi. The show must go on. Mengutip pendapat Ralp Marlstone tentang komitmen dikatakan: “Anda tidak bisa menciptakan ‘living’ hanya dengan ide, kreativitas, visi, melainkan ‘you must live' WITH them".  Senada dengan Ralp, Joel Barker mengatakan  “Vision WITH action can change the world”. 
Menjalankan ide innovative sebagai pemahaman komprehensif menuntut aplikasi prinsip manajemen yang berarti menggunakan sumber daya di luar kita sebagai kekuatan  berdasarkan keseimbangan riil antara size of planning dan ability of working. Tanpa aplikasi manajemen, sumber daya yang berlimpah di luar sana bisa tidak berguna atau malah menjadi penghambat atau sia-sia. Salah satu keahlian manajemen adalah komunikasi. Tak terbayangkan kalau kerjasama apapun tidak diimbangi dengan kemampuan komunikasi yang dibutuhkan. Contoh lain yang  menggambarkan pentingnya keseimbangan dalam menjalankan inovasi   adalah fenomena kekecewaan atau kegagalan proposal kerja sama. Dari sudut gagasan, kreativitas, visi, semuanya cemerlang. Tetapi begitu disepakati untuk dijalankan, ternyata masih banyak celah lobang yang belum atau masih di luar kapasitas masing-masing pihak menciptakan solusi. Atau dengan kata lain lebih gede planning for success ketimbang ability of working for success.

Alasan
Menemukan alasan mengapa kita merasa perlu untuk menjalankan ide innovative untuk memperbaiki kehidupan pribadi atau organisasi merupakan bagian penting dari inovasi itu sebelum dijalankan. Sebagian dari alasan itu antara lain dapat dijabarkan sebagai berikut: 

Perubahan
Dunia ini tidak akan berbeda dengan perubahan yang secara take for granted akan terjadi. Setiap perubahan eksternal menuntut ketepatan memilih respon yang tepat di tingkat internal. Inilah pilihan dari pemahaman hidup yang harus dipegang.  Sayangnya sering ditemukan bahwa orang lebih tertarik untuk membicarakan kemajuan yang diciptakan perubahan dunia luar tanpa dibarengi dengan keingian kuat untuk mengubah diri. Sikap resistance to change yang membabi buta ini pada giliran tertentu akan mengantarkan pada posisi sebagai korban perubahan zaman atau tidak mendapat benefit dari kemajuan

Keterbatasan 
Melakukan inovasi diri harus diberangkatkan dari pemahaman bahwa manusia memiliki kemampuan tak terbatas kecuali batasan yang diciptakan sendiri (self – fulfilling prophecy). Kaitannya dengan inovasi adalah, kemampuan kita merupakan garis pembatas pigura hidup, dan inovasi dibutuhkan dalam rangka memperluas garis pembatas pigora itu. Selain dibutuhkan pemahaman dari dalam juga tidak kalah penting peranan "pil" pemahaman yang disuntikkan oleh pihak luar, meskipun dalam bentuk tawaran memilih. Praktekknya tidak sedikit orang yang meyakini wilayah ‘pigura hidup’-nya bertambah setelah minum pil pemahaman dari sosok yang diyakini lebih terpercaya, misalnya saja paranormal, dukun, penasehat, konsultan, sahabat karib, dll

Kesenjangan
Alasan lain mengapa inovasi dibutuhkan adalah kenyataan alamiah berupa terjadinya kesenjangan antara alam idealitas dan realitas. Wujud pengakuan fakta alamiah itu harus dibuktikan dengan perbaikan di tingkat realitas dan perubahan format alam idealitas. Seperti kata pepatah, “Gantungkan cita-citamu di langit tetapi jangan lupa kakimu menginjakkan bumi”. Maksudnya, terus ciptakan standard yang lebih tinggi dari yang optimal bisa diraih. Bisa dibayangkan, seandainya semua manusia cukup ‘berpuas-diri’, dengan apa yang ada dalam pengertian ‘low quality’,  maka pasti kemajuan sulit diciptakan. Selain itu akan memudahkan orang terkena virus putus asa, berpikir only one answer, bersikap perfectionist yang berarti bertentangan dengan prinsip dasar inovasi.
Sulit dielakkan, kenyataannya terdapat kecenderungan budaya konformitas berupa ketakutan psikologis untuk bercita-cita tinggi yang dijustifikasi oleh pola berpikir realistik yang keliru dalam arti tidak mencerminkan semangat pengembangan diri ke arah lebih baik. Mestinya, berpikir realistik diartikan menginjak di atas realitas, tidak sebaliknya hidup di dalam realitas. Didasarkan pada pemahaman yang berbeda ini maka terjadi kenyataan yang berbeda. Kendaraan yang berjalan di atas jalan raya dapat diarahkan kemana pun tetapi ketika terperosok di dalam lumpur, pilihannya hanya dientaskan ke atas.

Perlu dicatat bahwa semua alasan yang sudah disebutkan di atas didasarkan pada: 1) perspektif bahwa hidup adalah proses;  dan 2) menjalankan Learning Principle  yang  merupakan upaya untuk mengembangkan kemampuan dari asset potential menjadi asset aktual.  Oleh karena itu  alasan personal lain, apapun yang kita miliki, tuntutan paling penting tetap pada menemukan alasan yang punya korelasi kuat terhadap tindakan yang memiliki akses pada perubahan situasi. Begitu situasi sudah dapat diubah menjadi lebih baik berarti kita sudah melangkahkan kaki pada tujuan akhir dari inovasi yang berarti awal untuk memulai perubahan lain ke arah yang bertambah baik. That is the process





Rabu, 08 Februari 2012

Membangun Mentalitas Kewirausahaan

MEMBANGUN MENTALITSAS KEWIRAUSAHAAN

Jumadi, SE, MM
Staf Pengajar
Jurusan Manajemen Fakultas Ekonomi
Universitas Widya Mataram Yogyakarta

A.     Pengantar
Sejak Krisis moneter tahn 1998 sampai dengan tahun 2008 Kondisi negara kita di berbagai bidang tidak menunjukkan perubahan berarti. Kebijakan pemerintah masih simpang siur, hukum semakin tidak jelas, dan kondisi sosial kian tidak menentu.  Di bidang ekonomi, tidak ada perubahan kearah yang lebih baik. PHK tetap berlangsung karena banyak wirausahawan tidak lagi berminat memulai atau mengembangkan usahanya dan para investor asing sudah banyak yang memutuskan untuk memindahkan usahanya ke negara lain yang lebih menjanjikan.Penduduk Indonesia dengan usia produktif tidak bisa begitu saja menganggur. Hidup tetap harus berjalan dan penghasilan tetap mesti dicari untuk menutupi biaya hidup yang kian mahal.  Berbagai ide bisnis bermunculan dan di diskusikan dalam berbagai pertemuan baik formal maupun informal.  Sebagian ide tersebut memang hanya merupakan “mimpi yang indah” tetapi sebagian lagi ditanggapi dengan antusiasme yang tinggi. Dari hal ini terlihat bahwa masyarakat kita justru merasa terpacu ketika dihadapkan pada suatu krisis yang berkepanjangan. Kendala yang ada sekarang adalah , bagaimanakah mewujudkan jutaan mimpi indah itu menjadi kenyataan? Apa saja faktor-faktor psikologis yang harus dimiliki sang wirausaha sehingga dapat mewujudkan mimpi indahnya tersebut? Materi pelatihan di buat dengan harapan dapat menjadi inspirasi  bagi para pemilik mimpi indah (kelompok tani Sumber Rejeki) supaya dapat mempersiapkan diri dalam usaha mereka membuat mimpi itu menjadi kenyataan.
B. Istilah dan ciri  Kewirausahaan
Ada beberapa istilah kewirausahan yang di pahami oleh masyarakat umum beberapa istilah tersebut antaralain:
1.   Kemampuan mengambil faktor-faktor produksi dan menggunakannya untuk membuat barang dan jasa, untuk memasuki peluang yang tidak terikat oleh eksekutif bisnis lain.
2. Kemampuan melihat kebutuhan sebagai peluang untuk memenuhi permintaan tersebut . Industri pariwisata membutuhkan barang butuh souvenir, barang souvenir butuh bahan baku, tenaga kerja.  Contoh Kebutuhan hari rayaakan  memunculkan permintaan kartu ucapan.
3.    Mencakup upaya mengawali perubahan dalam produksi, sampai muncul kembali awal perubahan baru (perubahan organisasi).
4.  Kewirausahaan selalu mencari perubahan, menanggapi perubahan dan memanfaatkannya sebagai peluang 
5. Suatu peluang, misalnya ditemukan teknologi pembuatan mobil baru, perusahaan lain dapat memproduksi dan  melakukan manajemen efektif dalam pembagian tugas.
6.  Kewirausahaan jiwa seseorang yang ingin selalu kreatif inovatif berani mengambil keputusan yang beresiko dengan didasari oleh perhitungan yang matang. (Jumadi,  2001).
Ciri watak seorang wirausaha merupakan pengambaran suatu prilaku atau tindakan yang dilakukan oleh seorang wirausahan ciri dan watak tersebut yang dapat dilihat talam tabel berikut (Geoffrey 1996):

·         Ciri
·         Watak
·         Percaya diri

·         Berorientasi pada tugas dan hasil

·       Pengambilan resiko

·         Kepemimpinan

·         Keorisinilan

·         Berorientasi ke masa depan
·  Keyakinan, ketidaktergantungan, individualitas dan optimisme
·         Kebutuhan untuk berprestasi, berorientasi laba, ketekunan, ketabahan, tekat kerja keras punya dorongan yang kuat
·         Kemampuan mengambil resiko yang wajar dan suka tantangan
·         Prilaku sebagai pemimpin, bergaul dengan orang lain menanggapi kritik dan saran
·         Inovatif dan kreatif serta fleksibel
·         Pandangan kedepan, perspektif

Proses kewirausahaan seseorang dari penanaman nilai-nilai kewirausahaan didalam diri seseorang. Nilai kewirausahaan akan muncul dalam bentuk komintmen, resiko yang moderat, peluang, objektif, umpan balik, optimisme, uang, proaktif dalam manajemen. Apabila nilai nilai tersebut muncul makan akam mencirikan ciri wirausaha berhasil, Yaitu wirausahan memiliki visi dan tujuan, berani menanggung resiko, berencana, kerja keras, familiar, bertanggung jawab atas kegagalan dan keberhasilan. Keberhasilan soeorang wirausaha akan tergantung pada kepribadian wirausaha itu sendiri yaitu terletak pada kepercayaan diri, kemampuan mengorganisir, kreativitas, dan suka tantangan
C. Orientasi Model Wirausaha
Model Kewirusahaan dapat di gambarkan dengan menggunkan empat kuadaran yang menjukkan aliran dalam melakukan aktivtasnya. Dalam bagan tersebut di bawah ini dapat dilihat bahwa dalam wira usaha ada empat system yang di anut oleh wirausaha antara lain adalah (Sujuti, 1997):
Pertama Orentasi kemajuan yaitu kegiatan yang meliputi: tanggung jawab, kreativitas, ilmu, sikap positif, pelatihan dan pelayanan
Kedua  Orentasi Materi yaitu kegiatan yang meliputi: pengambilan resiko, tehnologi keuntungan materi
Ketiga Orentasi Totok yaitu kegiatan yang meliputi: perhitungan kira-kira,  resiko, Pelaris dan menghadap kemana
Keempat Orentasi Non Materi yaitu kegiatan yang meliputi: pengalaman, perhitungan mistik, etnocentrisme dan tatacara leluhur.
D. Prosess Munculnya Kewriausahaan
1. Proses alur pikir  kewirausahaan
Pada dasarnya untuk menjadi aktivitas yang berkewirausahaan harus di mulai dengan mengembangkan serangkaian akktivitas yang kreatif yaitu aktivitas yang lain dari pada aktivitas orang lain, dengan demikian maka akan selalu di munculkan pemikiran-pemikaran baru. Setelah pemikiran baru muncul di sini akan tumbuh yang namanya inovasi yaitu menemukan hal yang baru dengan hal baru ini di harapakan ada nilai tambah baru sehingga ada nilai baru.
2.      Proses terbentuknya  menjadi Wirausaha
Untuk menjadi wirausaha memerlukan serangkaian kegiatan sehingga aktivitas brusaha itu benar-benar tercapai d awali dengan penanaman sikap mental Entrepeneurship yaitu sikap mental yang kreatif inovatif berani mengambi kputusan yang beresiko dengan di perhitungan yang matang, setelah sikap mental tersebut tertanam barulah orang melakukan aktivitasnya yaitu berwira usaha. Orang yang melakukan aktivitas ber wirausaha inilah yang di sebut dengan wirausaha.
3.      Model Analisis Diri Wirausaha
Sementara itu Keberhasilan seorang wirausaha tergantung dirinya dalam melakukan analisis potensi dirinya ada beberapa faktor yang mempengaruhi keberhasilan dan kegagalan wirausaha. Faktor kegagalan dapat berasal dari dalam maupun dari luar sedangkan faktir keberhasilan juga dapat berasal dari dlam maupun dari luar. Keberhasilan atau kegagalan wirausaha sangat di pengaruhi oleh  berbagai faktot baik faktor internal maupun faktor eksternal Untuk dapat suksu seorang wira usaha harus dapat mengetahui kemampuannya, kelemahan (fator internal) dan peluang serta kesempatan (faktor eksternal) kedua faktor ini jika di kelola dengan baik maka wirausaha akan menjadi sukses.(Sujuti,1997). Sedangkan menurut (Schumpeter, 1934) Wirausaha adalah inovator dalam mengkombinasikan sumber-sumberbahan baru, metode produksi baru, akses pasar baru dan pangsa pasar baru. Pendapat lainnya adalah (Ibnu Sujono, 1993) prilaku kreatf dan inovatif tersebut dinamakan entrepreeural action yang ciri-cirinya adalah mengamankan investasnya trhada resiko, mandiri, brekrasi menciptakan nilai tambah, selalu mencari peluang dan berorientasi masa depan.
4.      Model Proses Kewirausahaan
Model proses kewirausahaan tidak hanya serta merta muncul dari diri seseorang, akan tetapi akan di pengaruhi oleh beberapa paktor berikut ini yatu: Faktor pribadi, faktor sosilogi, faktor organisasi, faktor lingkungan dan faktor kompetensi diri. Tantangan SDM Kewirausahaan
Seorang wirausaha tidak akan hanya berjalan dengan mulus dalam melakukan kegiatannya di hadapannya akan di jumpai tantangan yang menghadang, beberapa tantangan tersebut antara lain: Tantangan persaingan global, tantangan pertumbuhan penduduk, tantangan keragaman angkatan kerja, tantangan kecenderungan gaya hidup, tantangan kemajuan tehnologi, tantangan tanggungjawab (profesionalisme) serta tantangan terhadap pengangguran.
5.   Kompetensi Wirausaha
Keberhasilan wirausaha tidak hanya di pengaruhi oleh keberanian dalam mengambil setiap resiko atu keahlian saja akan tetapi harus di kombinasikan dengan kempuan secara intelektual, oleh karena itu seorang wirausaha harus juga mempunyai kemampuan intelektual untuk membentuk kompetensi dirinya. Ada slogan yang sudah familier di hadapan kita yaitu (Jumadi, 2005) berbunyi TIME IS MONEY, sebenarnya slogan ini adalah slogan yang menyesatkan bagi peserta didik logika dalam slogan ini adalah waktu adalah uang sehingga sehingga slogan ini menjadi slogan yang sangat instan yang berdampak terhadap prilaku jalan pintas (short cut). Seharusnya slogan tersebut dirubah menjadi TIME IS KNOWLEDGE, KNOWLEDGE IS POWER, DAN POWER IS MONEY, logika slogan tersebut adalah waktu adalah ilmu artinya waktu harus digunakan untuk belajar, baru kemudian ilmu adalah kekuatan artinya supaya menjadi orang atau bangsa yang kuat maka harus berilmu, sehingga dengan kekuatan ilmu tersebut maka akan mendatangkan uang. Hal ini kalau saya simpulkan maka untuk mendapatkan uanga maka kita harus menjadi kuat, untuk menjadi kuat kita harus berilmu dan untuk berilmu kita harus belajar dan belajar itu membutuhkan Waktu. Oleh karena itu jangan heran ketika bangsa ini menjadi bangsa yang lemah karena bangsa ini kurang memanfaatkan waktu untuk mencari ilmu, maka untuk mmbetuk kompentensi ini intinya adalah kita harus mempunyai ilmu (intelektual) yanga akan di gabungkan dengan keahlian yang dimiliki.  Sementara menurut (Michael Harris, 2000) kompetisi adalah ”...are underlying bodies of knowledger, abilities, experiencies, and ather requrement neccessary to successfully perform the job.
E.  Manfaat Kewirausahaan
Ada 4 macam manfaat sosial dalam pengembangan kewirausahaan antara lain adalah sebagai berikut:
a.      Memperkuat pertumbuhan ekonomi, perhatian yang semakin besar terhadap industri kecil atau pengusaha baru, karena industri kecil dan pengusaha baru dapat menyediakan pekerjaan baru yang banyak sehingga menyerap tenaga kerja, menciptakan pendapatan meningkatkan daya beli dan akhirnya memperkuat pertumbuhan ekonomi.
b.      Meningkatkan produktivitas, Produktivitas adalah kemampuan menghasilkan lebih banyak barang atau jasa dengan input dan tenaga kerja lebih sedikit. Dengan kealhiah dan kemapuan yang di miliki maka seorang wirausaha akan mendaatkan tingkat produktivitas yang tinggi.
c.       Mengembangkan teknologi, produk dan jasa (innovatif): kewirausahaan juga akan memunculkan tehnoog baru untuk menghasilkan produknya sebagai contoh dengan adanya krisis yang berkepanjangan ini banyak insan wira usaha yang dapat menciptakan tehnologi atau energi baru yang inovatif, di Yogyakarta di temukannya energi ramah lingkungan pengganti bensin, di Malang di temukan energi yang berbahan dasar limbah buah dan lain-lain.
d.      Perubahan Pasar: Yoygaya karta sebagai Kota pelajar memberikan peluang adanya perubahan pasar untuk menunjang kota pelajar sehingga banyak pengusha  di Yogyajarta membuka  bimbingan test sebagai salah satu pasar baru.
F. Beberapa Alternatif  Menjadi Wirausaha
Ada beberapa alternatif dalam menjadi wirausaha diantaranya adalah (Jumadi, 2006)
1.      Menjadi wirausahawan mandiri, Menjadi seorang wirausahawan mandiri, berbagai jenis modal mesti dimiliki. Ada 3 jenis modal utama yang menjadi syarat: (1) sumber daya internal yang merupakan bagian dari pribadi calon wirausahawan misalnya kepintaran, ketrampilan, kemampuan menganalisa dan menghitung risiko, keberanian atau visi jauh ke depan.  (2) sumber daya eksternal, misalnya uang yang cukup untuk membiayai modal usaha dan modal kerja, social network dan jalur demand/supply, dan lain sebagainya. (3) faktor X, misalnya kesempatan dan keberuntungan. Seorang calon usahawan harus menghitung dengan seksama apakah ke-3 sumber daya ini ia miliki sebagai modal. Jika faktor-faktor itu dimilikinya, maka ia akan merasa optimis dan keputusan untuk membuat mimpi itu menjadi tunas-tunas kenyataan sebagai wirausahawan mandiri boleh mulai dipertimbangkan
2.      Mencari mitra dengan “mimpi” serupa, Apabila ada 1 atau 2 jenis sumber daya tidak dimiliki, seorang calon wirausahawan bisa mencari partner/rekanan untuk membuat mimpi-mimpi itu jadi kenyataan.  Rekanan yang ideal adalah rekanan yang memiliki sumber daya yang tidak dimilikinya sendiri sehingga ada keseimbangan “modal/sumber daya” di antara mereka. Umumnya kerabat dan teman dekatlah yang dijadikan prospective partner yang utama sebelum mempertimbangkan pihak lainnya, seperti beberapa jenis institusi finansial diantaranya bank.Pilihan terhadap  jenis mitra memiliki resiko tersendiri. Resiko terbesar yang harus dihadapi ketika berpartner dengan teman dekat adalah dipertaruhkannya persahabatan demi bisnis. Tidak sedikit keputusan bisnis mesti dibuat dengan profesionalisme tinggi dan menyebabkan persahabatan menjadi retak atau bahkan rusak. Jenis mitra bisnis lainnya adalah anggota keluarga; risiko yang dihadapi tidak banyak berbeda dengan teman dekat. Namun, bukan berarti bermitra dengan mereka tidak dapat dilakukan. Satu hal yang penting adalah memperhitungkan dan membicarakan semua risiko secara terbuka sebelum kerjasama bisnis dimulai sehingga jika konflik tidak dapat dihindarkan, maka sudah terbayang bagaimana cara menyelesaikannya sejak dini sebelum merusak bisnis itu sendiri. Mitra bisnis lain yang lebih netral adalah bank atau institusi keuangan lainnya terutama jika modal menjadi masalah utama. Pinjaman pada bank dinilai lebih aman karena bank bisa membantu kita melihat secara makro apakah bisnis kita itu akan mengalami hambatan. Bank yang baik wajib melakukan inspeksi dan memeriksa studi kelayakan (feasibility study) yang kita ajukan. Penolakan dari bank dengan alasan “tidak feasible” bisa merupakan feedback yang baik, apalagi jika kita bisa mendiskusikan dengan bagian kredit bank mengenai elemen apa saja yang dinilai “tidak feasible”.  Bank juga bisa membantu kita untuk memantau kegiatan usaha setiap tahun dan jika memang ada kesulitan di dalam perusahaan, bank akan mempertimbangkan untuk tidak meneruskan pinjamannya. Ini merupakan “warning” dan kontrol yang bisa menyadarkan kita untuk segera berbenah.  Wirausahawan yang “memaksakan” bank untuk memberi pinjaman tanpa studi kelayakan yang obyektif dan benar akhirnya sering mengalami masalah yang lebih parah.  Agunan (jaminan) disita, perusahaan tidak jalan, dan hilanglah harapan untuk membuat mimpi indah menjadi kenyataan.  Kejadian seperti ini sudah sangat sering terjadi, dalam skala kecil maupun skala nasional. Pinjaman seringkali melanggar perhitungan normal yang semestinya diterapkan oleh bank sehingga ketika situasi ekonomi tidak mendukung, sendi perekonomian mikro dan makro pun turut terbawa jatuh.
3.      Menjual mimpi itu kepada wirausawahan lain (pemilik modal), Apabila teman atau kerabat yang bisa diajak bekerjasama tidak tersedia (entah karena kita lebih menghargai hubungan kekerabatan atau persahabatan atau karena memang mereka tidak dalam posisi untuk membantu) dan tidak ada agunan yang bisa dijadikan jaminan untuk memulai usaha anda, ada cara lain yang lebih drastis, yaitu menjual ide atau mimpi indah itu kepada pemilik modal.  Kesepakatan mengenai bagaimana bentuk kerjasama bisa di lakukan antara si pemilik modal dan penjual ide.  Bisa saja pemilik modal yang memodali dan penjual ide yang menjalankan usaha itu, bisa juga penjual ide hanya menjual idenya dan tidak lagi terlibat dalam usaha itu.  Jalan ini biasanya diambil sesudah cara lainnya tidak lagi memungkinkan sedangkan ide yang kita miliki memang sangat layak diperhitungkan.
G. Faktor Kesuksesan Wirausaha
Selain faktor kebiasaan masih banyak faktor lain yang turut menentukan apakah seseorang bisa menjadi seorang wirausahawan yang sukses diantaranya adalah:
1.      Kreatif dan Inovatif, Ciri Seorang wirausahawan umumnya memiliki daya kreasi dan inovasi yang lebih dari non-wirausahawan.  Hal-hal yang belum terpikirkan oleh orang lain sudah terpikirkan olehnya dan dia mampu membuat hasil inovasinya itu menjadi “demand. Nilai kreatif dan inovatif merupakan unsur-unsur keorisinailan seseorang yang Wirausahanya yang inovatif adalah orang yang kreatif dan yakin dengan cara-cara baru yang lebih baik (Yuyun W, 1994) dengan bercirikan: Tidak pernah puas dengan cara-cara yang di lakukan saat ini, selalu mnggunakan imajinasi dalam melakukan pekerjaanya, selalu ingin tampil beda atau selalu memanfaatkan perbedaan.
2.     Confident, Tegar dan Ulet, Kepercayaan merupkan suatu panduan skap dan keyakinan sesorang dalam menghadapi tugas dan pekerjaan (Soesarsono Wijandi1988). Sedangkan menurut (Ziemerer, 1996) orang yang mempunyai kepercayaan akan cenderung memiliki keyakinan untuk mencapai keberhasilan. Wirausahawan yang berhasil umumnya memiliki rasa percaya diri yang tinggi, tegar dan sangat ulet. Ia tidak mudah putus asa, bahkan mungkin tidak pernah putus asa.  Masalah akan dihadapinya dan bukan dihindari.  Jika ia membuat salah perhitungan, saat ia sadar akan kesalahannya, ia secara otomatis juga memikirkan cara untuk membayar kesalahan itu atau membuatnya menjadi keuntungan. Ia tidak akan berhenti memikirkan jalan keluar walaupun bagi orang lain, jalan keluar sudah buntu. Kegagalan akan dibuatnya menjadi pelajaran dan pengalaman yang mahal.  Semangatnya tidak pernah luntur; ada saja yang membuatnya bisa berpikir positif demi keuntungan yang dikejarnya.  Kualitas kepribadian seperti ini tidak mungkin tumbuh secara mendadak. Keuletan, ketegaran dan rasa percaya diri tumbuh sejak dini (usia balita) dan sudah menjadi karakter atau dasar kepribadiannya. Sulit (bukan tidak mungkin) bagi seorang dewasa membentuk kualitas-kualitas ini jika tidak dimulai sejak masa balita.
3.      Pekerja Keras, Waktu kerja bagi seorang wirausahawan tidak ditentukan oleh jam kerja. Saat ia sadar dari bangun tidurnya, pikirannya sudah bekerja membuat rencana, menyusun strategi atau memecahkan masalah.  Kadang dalam tidurnyapun ia tetap berpikir. Membiarkan waktu berlalu tanpa ada yang dipikirkan atau dikerjakan kadang membuatnya merasa “tidak produktif” atau merasa kehilangan kesempatan.
4.      Pola Pikir Multi-tasking, Seorang wirausahawan sejati mampu melihat sesuatu dalam perspektif/dimensi yang berlainan pada satu waktu (multi-dimensional information processing capacity). Bahkan ia juga mampu melakukan “multi-tasking” (melakukan beberapa hal sekaligus). Kemampuan inilah yang membuatnya piawai dalam menangani berbagai persoalan yang dihadapi oleh perusahaan.  Semakin tinggi kemampuan seorang wirausahawan dalam multi-tasking, semakin besar pula kemungkinan untuk mengolah peluang menjadi sumber daya produktif.
5.   Mampu Menahan Nafsu untuk Cepat Menjadi Kaya, Wirausahawan yang bijak biasanya hemat dan sangat berhati-hati dalam menggunakan uangnya terutama jika ia dalam tahap awal usahanya.  Setiap pengeluaran untuk keperluan pribadi dipikirkannya secara serius sebab ia sadar bahwa sewaktu-waktu uang yang ada akan diperlukan untuk modal usaha atau modal kerja. Keuntungan tidak selalu menetap, kadang ia harus merugi dan perusahaan harus tetap dipertahankan. Oleh sebab itu, jika ia memiliki keuntungan 10, hanya sepersekian yang digunakan untuk keperluan pribadinya. Sebagian besar disimpannya untuk digunakan bagi kemajuan usahanya atau untuk tabungan jika ia terpaksa mengalami kerugian. Wirausahawan yang bijak juga mengerti bahwa membangun sebuah perusahaan yang kokoh dan mapan memerlukan waktu bertahun-tahun bahkan tidak jarang belasan atau puluhan tahun.  Seorang wirausahawan yang memulai usahanya dari skala yang kecil hingga menjadi besar akan mampu menahan nafsu konsumtifnya. Baginya, pengeluaran yang tidak menghasilkan akan dianggap sebagai sebuah kemewahan.  Jika tabungannya tidak cukup untuk membeli kemewahan itu, dia akan menahan diri sampai tabungannya jauh berlebih. Ia juga menghargai keuntungan yang sedikit demi sedikit dikumpulkannya. Keuntungan itu diinvestasikannya ke dalam usaha lainnya sehingga lama-kelamaan hartanya bertambah banyak. Dalam hal ini memang ada benarnya pepatah yang mengatakan: “hemat pangkal kaya”. Sebaliknya, wirausahawan yang tidak bijak seringkali tidak dapat menahan nafsu konsumtif.  Keuntungan dihabiskan untuk berbagai jenis kemewahan dan hal yang tidak produktif sehingga tidak ada lagi tabungan untuk perluasan perusahaan atau untuk bertahan pada masa sulit.
6.      Berani Mengambil Resiko, Seorang wirausahawan berani mengambil risiko. Semakin besar risiko yang diambilnya, semakin besar pula kesempatan untuk meraih keuntungan karena jumlah pemain semakin sedikit (Yuyun W, 1994).  Wirausaha adalah seorang yang lebih menyukai usaha-usaha yang lebih menantang untuk mencapai kesuksesan atau kegagalan dari pada usaha yang kurang menantang. Sementara menurut (Meredith, 1996) Seorang pengambil resiko lebih menyukai tantangan dan peluang.
H. Penutup
Kewirausahaan merupakan jiwa seseorang yang ingin selalu kreatif inovatif berani mengambil keputusan yang beresiko dengan didasari oleh perhitungan yang matang. Yang perlu dicatat adalah bahwa seorang wirau usaha harus mempunyai jiwa kewirausahaan.
DAFTAR PUSTAKA
Jumadi, No.7 Vol 1 Mei 2005, Jurnal Ilmiah Populika ,Fakultas ISIPOL Universitas Widya Mataram Yogyakarta: Yogyakarta
--------, 2005, Manajemen Operasi dan Produksi, Fakultas Ekonomi Universitas Widya Mataram Yogyakarta: Yogyakarta.
--------, 2006, Membangun Mentalitsas wirusaha; Makalah Disampaikan dalam rangka Kegiatan Pengabdian Kepada Masayarakat di Desa Karang Turi Kecamatan Gondang Rejo Kabupaten Karanganyar Jawa TengaTanggal 21s/d 22 Mei 2006
--------, 2011, Membangun Mentalitas Kewirausahaan Materi Pelatihan Kewirausahaan bagi Pengrajin Keris Pemuda Mataram di Imogiri Bantul DIY.
Meredith G, Geoffrey 1996, Kewirausahaan: Teori dan Praktek , Pustaka Binaman Presindo: Jakarta
Sujuti Jahja, 1997, Penelitian Tentang Kewirausahaan dalam Rangka Pengembangan Disiplin Ilmu Kewirausahaan. Makalah Seminar Nasional, Jatinangor:IKOPIN.
Yuyun Wirasasmita, 1994, Kerjasama dengan Perguruan Tnggi dengan Lembaga Perbankan dan Keuangan lainnya dalam Rangka Menciptkan Wirausha-wirausaha Baru: Hasil Seminar: LM Bandung.
Soesarsono Wijandi, 1998, Pengantar Kewirausahaan, Sinar Baru: Bandung
Zimmmerer, W. Thomson, Norman M. Scaborough, 1996 Entrepreneurship and The New Venture Formation, New Jersey: Prentice Hall International Inc.
Michael Harris, 2000, Humand Resources Management; USA