MOTO

Ada Pepatah bahwa Kalau kita ingin selalu ingat maka kita harus selalu melihat dan mendengar, tetapi untuk melihat dan mendengar tidaklah gampang kecuali orang-orang yang mengetahui tip untuk melihat dan mendengar. Oleh karena menjadi pribadi yang baik manakala baik dalam melihat mendengar melihat dan mendengar hanya sepotong-sepotong akan membahayakan diri sendiri dan orang lain.

Rabu, 30 November 2011

Aksiologi: Fakta, Teori, Hukum dan Tehnologi


FAKTA, TEORI, HUKUM DAN TEHNOLOGI
oleh Kelompok V
Jumadi
Amaraulah Hamali
Sambudi Hamali
Dadang Munandar
Erlinda Asril
Rosmaryani
Resanti 
Riyan Kurniawan
BAB 1
PENDAHULUAN

Filsafat berasal dari kata Yunani, yakni philosophia yang berarti adalah cinta (philia) kebijaksanaan (Sophia atau sophos). Menurut analisis, kata ini muncul dari mulut mulut Phytagoras yang hidup di Yunani Kuno pada abad ke-16 Sebelum Masehi. Namun ada pula yang menyebut Socrates-lah yang pertama-ama menyebut diri sebagai “Philosophos”, yakni sebagai protes terhadap kaum terpelajar yang menamakan diri mereka sophist (bijaksana). Sebagai protes terhadap kesombongan mereka itu, maka Socrates lebih memilih menyebut diri sebagai philosophus (pecinta kebijaksanaan). Arti dari pecinta kebijaksanaan, yaitu untuk mennjuk keada orang yang ingin mencari dan mempunyai pengetahuan yang luhur/bijaksana (sophos).
Bijaksana memiliki dua segi arti, yang pertama memiliki pengertian yang mendalam dan yang kedua memiliki sikap hidup yang benar. Sementara benar adalah yang baik dan yang tepat. Jadi filsafat itu mencari kebijaksanaan. Dalam cakrawala lain, Sophia diartikan lebih luas lagi daripada kebijaksanaan, diantaranya : (1) kerajinan; (2) kebenaran pertama; (3) pengetahuan yang luas; (4) kebajikan intelektual; (5) pertimbangan yang sehat; (6) kecerdikan dalam memutuskan hal-hal praktis. Namun, dari berbagai arti itu pada intinya kesemua arti tersebut menunjuk untuk mencari keutamaan mental. (Erwin, 2011:3).
Filsafat adalah ilmu yang menyelidiki segala sesuatu dengan mendalam mengenai ketuhanan, alam manusia dan manusia sehingga dapat menghasilkan pengetahuan tentang bagaimana hakikatnya sejauh yang dapat dicapai akal manusia setelah mencapai pengetahuan.
Filsafat ilmu, yang mengkaji ilmu pada dataran hakikat (esensinya), memiliki sediktnya tiga fungsi dan tugas poko dalam kaitannya dengan pengembangan ilmu, yaitu, (a) Produktif, yakni membuat kerangka landasan dan program filosofis penciptaan dan pengembangan ilmu, yang mencakup ontologi, epistemologi, dan aksiologinya, (b) Koordinatif/integratif, yakni membuat klasifikasi ilmu ke dalam disiplin-disiplin dan mengoordinasikan/mengintegrasikannya pada dataran filosofis, dari sudut ontologi, epistemologi, dan aksiologinya, (c) Evaluatif, yakni menguji dan menilai ilmu dari segi ontologi (terutama relevansinya dengan objek), epistemologi (validitas menurut criteria tertentu secara falsifikatif dan verifikatif), dan aksiologi (kegunaan bagi kehidupan praksis manusia sesuai hakikat diri dan fungsi eksistensinya di tengah alam semesta). Karena itu, sejauh mana pengaruh suatu filsafat ilmu terhadap perkembangan ilmu dapat diukur dengan sejauh mana kapabilitas dan efektifitasnya dalam penunaian ketiga fungsi dan tugas pokok tersebut, baik secara teoritis maupun empirik.
Bagian dari filsafat pengetahuan membicarakan tentang ontologis, epistemologis dan aksiologi. Dalam kajian aksiologi ilmu membicarakan untuk apa dan untuk siapa. Tulisan ini membicarakan Ilmu dan Moral,Pengertian Aksiologi, Tanggung jawab Sosial Ilmuwan, serta Ilmu dan Agama.
Ilmu merupakan sesuatu yang paling penting bagi manusia. Karena dengan ilmu semua keperluan dan kebutuhan manusia bisa terpenuhi secara lebih cepat dan lebih mudah. Dan merupakan kenyataan yang tidak bisa dipungkiri bahwa peradaban manusia sangat berhutang kepada ilmu. Singkatnya ilmu merupakan sarana untuk membantu manusia dalam mencapai tujuan hidupnya.
Teknologi tidak hanya menjadi berkah dan penyelamat bagi manusia, tetapi juga bisa menjadi bencana bagi manusia. Misalnya pembuatan bom yang pada awalnya memdahkan untuk kerja manusia, namun kemudian digunakan untuk hal-hal yang bersifat negative yang menimbulkan malapetaka bagi manusia itu sendiri, seperti bom yang terjadi di Bali. Disinilah ilmu harus diletakkan secara proporsional dan memihak kepada nilai-nilai kebaikan dan kemanusiaan. Sebab jika pemanfaatan ilmu tidak berpihak kepada nilai-nilai kebaikan, maka yang terjadi adalah bencana dan malapetaka.
Setiap ilmu pengetahuan akan menghasilkan teknologi yang kemudian akan diterapkan pada masyarakat. Teknologi dapat diartikan sebagai penerapan konsep ilmiah dalam memecahkan masalah-masalah praktis baik yang berupa perangkat keras (hardware) maupun perangkat lunak (software). Dalam tahap ini ilmu tidak hanya menjelaskan gejala alam untuk tujuan pengertian dan pemahaman, namun lebih jauh lagi memanipulasi factor-faktor yang terkait dalam gejala tersebut untuk mengontrol dan mengarahkan proses yang terjadi. Disinilah masalah moral muncul kembali namun dalam kaitannya dengan factor lain. Kalau dalam tahap kotemplasi masalah moral berkaitan dengan metafisiska maka dalam tahap manipulasi ini maslalah moral berkaitan dengan cara penggunaan pengetahuan ilmiah. Atau secara Filsafati dalam tahap penerapan konsep terdapat masalah moral ditinjau dari segi aksiologi keilmuwan.

BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1       Aksiologi
2.1.1    Pengertian Aksiologi
Menurut bahasa Yunani, aksiologi berasal dari kata axios artinya nilai dan logos artinya teori atau ilmu. Jadi aksiologi adalah teori tentang nilai. Aksiologi bisa juga disebut sebagai the theory of value atau teori nilai. Berikut ini dijelaskan beberapa definisi aksiologi. Menurut Suriasumantri (1987:234) aksiologi adalah teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang di peroleh. Menurut Kamus Bahasa Indonesia (1995:19) aksiologi adalah kegunaan ilmu pengetahuan bagi kehidupan manusia, kajian tentang nilai-nilai khususnya etika. Menurut Wibisono aksiologi adalah nilai-nilai sebagai tolak ukur kebenaran, etika dan moral sebagai dasar normatif penelitian dan penggalian, serta penerapan ilmu.
Kattsoff,1987:329) mengemukakan aksiologi adalah salah satu cabang filsafat yang membahas tentang nilai. Aksiologi membahas tentang hakekat nilai, dan objek yang diberi nilai. Nilai pada hakekatnya adalah merupakan suatu kualitas yang melekat pada segala sesuautu, sehingga sesuatu itu menjadi bermanfaat bagi kehidupan manusia. Oleh karena itu hakekat itu bersifat non empiris, artinya nilai itu bersifat abstrak yang tidak secara langsung dapat di indera (Frondizi, 1963:7), namun hanya dapat dipahami, dimengerti dan dirasakan oleh manusia  dengan menggunakan akal budinya.
Dalam hubungannya dengan subjek, hakekat nilai dapat bersifat subjektif dan dapat pula bersifat objektif. Nilai bersifat subjektif manakala nilai tersebut diberikan dan tergantung pada subjek pemberi nilai, atau kesadaran yang memberi nilai. Sedangkan nilai bersifat objektif manakala nilai dalam sesuatu itu tidak tergantung pada subjek pemberi nilai melainkan secara objektif barang sesuatu nilai memang bernilai, atau dengan perkataan lain nilai tersebut tidak bergantung pada subjek atau kesadaran yang memberi nilai (Frondizi, 1963:20).
Komara (2011:14), mengemukakan bahwa aksiologi adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki hakikat nilai yang pada umumnya ditinjau dari sudut pandang kefilsafatan. Askiologi meliputi nilai-nilai, parameter bagi apa yang disebut sebagai kebenaran atau kenyataan itu, sebagaimana kehidupan kita yang menjelajahi berbagai kawasan, seperti kawasan sosial, kawasan fisik materil dan kawasan simbolik yang masing-masing menunjukkan aspeknya sendiri. Lebih dari itu, aksiologi juga menunjukkan kaidah-kaidah apa yang harus kita perhatikan di dalam menerapkan ilmu ke dalam praksis.
Dalam dimensi aksiologi terdapat sedikitnya dua teori induk orisinalnya, yaitu (a) Teori yang berupa kaidah-kaidah penerapan ilmu dalam praksis, termasuk prinsip objektivitas-kontektualitas, (b) Teori strategi pengembangan ilmu, termasuk prinsip kebebasan berpikir dan berpendapat, meminimalisasi pengafiran dan memperluas cakupan rahmat Allah.
Menurut Kattsoff (1987:331), aksiologi dapat dijawab melalui 3 (tiga) cara, yaitu :
1)   Nilai sepenuhnya berhakikat subjektif. Ditinjau dari sudut pandang ini, nilai merupakan reaksi yang diberikan oleh manusia sebagai pelaku dan keberadaanya tergantung kepada pengalaman mereka.
2)    Nilai merupakan kenyataan ditinjau dari segi ontologisme. Nilai tersebut merupakan esensi logis dan dapat diketahui melalui akal.
3) Nilai merupakan unsur objektif yang menyusun kenyataan yang demikian disebut objektivisme metafisik.
Max Scheler tidak mendasarkan pada eksistensi subjek maupun objek, melainkan pengertian nilai harus dipahami berdasarkan hakekat nilai itu sendiri (Driyarkara, 1978: 142). Menurut Scheler nilai dibedakan atas :
1) Nilai Indrawi.
2) Nilai Vital, yang berkaitan dengan hidup manusia seperti kesehatan, kelelahan, kesakitan.
3) Nilai Spiritual, yang meliputi nilai keindahan, keadilan, nilai kebenaran pengetahuan.
Berbeda dengan penggolongan nilai tersebut Everet membedakan nilai menjadi 8 (delapan) macam (Darmodiharjo, 1996: 228), yaitu :
1)  Nilai Ekonomis manusia.
2)  Nilai Kejasmanian, yaitu nilai yang berhubungan dengan aspek jasmani manusia.
3) Nilai Hiburan, yaitu nilai yang berkaitan dengan permainan manusia untuk memperkaya kehidupan.
4) Nilai Sosial, yaitu nilai yang berhubungan dengan kehidupan manusia dalam beromunikasi dengan manusia lain.
5)  Nilai Watak, yaitu nilai yang berhubungan dengan kepribadian manusia.
6)  Nilai Estetis, yaitu nilai yang berkaitan dengan keindahan.
7)  Nilai Intelektual, yaitu nilai yang berhubungan dengan aspek intelektual manusia.
8)  Nilai Religius, yaitu nilai yang berhubungan dengan keagamaan.
Menurut Bramel Aksiologi terbagi tiga bagian :
1. Moral Conduct, yaitu tindakan moral, Bidang ini melahirkan disiplin khusus yaitu etika.
2. Estetic expression, yaitu ekspresi keindahan, bidang ini melahirkan keindahan
3. Socio-politcal life, yaitu kehidupan social politik, yangakan melahirkan filsafat social politik.
Dalam Encyslopedia of philosophy dijelaskan aksiologi disamakan dengan value and valuation :
1) Nilai digunakan sebagai kata benda abstrak, Dalam pengertian yang lebih sempit seperti baik, menarik dan bagus. Sedangkan dalam pengertian yang lebih luas mencakup sebagai tambahan segala bentuk kewajiban, kebenaran dan kesucian.
2) Nilai sebagai kata benda konkret. Contohnya ketika kita berkata sebuah nilai atau nilai-nilai. Ia sering dipakai untuk merujuk kepada sesuatu yang bernilai, seperti nilainya atau nilai dia.
3) Nilai juga dipakai sebagai kata kerja dalam ekspresi menilai, memberi nilai atau dinilai.
Jadi Aksiologi merupakan cabang ilmu ketiga pohon filsafat. Aksiologi merupakan cabang filsafat yang mempersoalkan tentang nilai. Persoalan utama pada nilai tersebut ada pada hakikat nilai itu sendiri, kriterianya dan keberadaan suatu nilai. Nilai dapat diartikan sebagai sifat yang melekat. Aksiologi adalah bagian dari filsafat yang menaruh perhatian tentang baik dan buruk (good and bad), benar dan salah (right and wrong), serta tentang cara dan tujuan (means and and). Aksiologi mencoba merumuskan suatu teori yang konsisten untuk perilaku etis. Aksiologi juga dikatakan sebagai cabang filsafat yang merefleksikan tentang hakekat tindakan, dan bagaimana manusia harus bertindak di dalam dunia nyata.
Dari definisi aksiologi di atas, terlihat dengan jelas bahwa permasalahan utama adalah mengenai nilai. Nilai yang dimaksud adalah sesuatu yang dimiliki manusia untuk melakukan berbagai pertimbangan tentang apa yang dinilai.Teori tentang nilai yang dalam filsafat mengacu pada masalah etika dan estetika.
2.1.2    Ilmu dan Moral
Ilmu merupakan sesuatu yang paling penting bagi manusia. Karena dengan ilmu semua keperluan dan kebutuhan manusia bisa terpenuhi secara lebih cepat dan lebih mudah. Dan merupakan kenyataan yang tidak bisa dipungkiri bahwa peradaban manusia sangat berhutang kepada ilmu. Singkatnya ilmu merupakan sarana untuk membantu manusia dalam mencapai tujuan hidupnya.
Ilmu tidak hanya menjadi berkah dan penyelamat manusia, tetapi juga bisa menjadi bencana bagi manusia. Misalnya pembuatan bom yang pada awalnya memudahkan untuk kerja manusia, namun kemudian digunakan untuk hal-hal yang bersifat negatif yang meninbulkan malapetaka bagi manusia itu sendiri, seperti bom yang terjadi di Bali. Disinilah ilmu harus diletakkan secara proporsional dan memihak kepada nilai-nilai kebaikan dan kemanusiaan. Sebab jika ilmu tidak berpihak kepada nilai-nilai, maka yang terjadi adalah bencana dan malapetaka.
Pada abad ke-19 peran ilmu pengetahuanpun semakin berkembang di dalam kehidupan manusia. Dengan kata lain, manusia semakin ditentukan oleh ilmu pengetahuan dan teknologi. Relasi antara ilmu pengetahuan dan umat manusia melibatkan dua proses yang saling terkait. Kedua proses ini bukanlah proses yang hanya berjalan satu arah, melainkan dua arah dan saling timbal balik.
Pengetahuan ilmiah dibentuk dengan adanya pikiran manusia, dan pengetahuan tersebut pun terbentuk sejalan dengan pikiran manusia bekerja. Sebaliknya, untuk memahami pikiran manusia secara ilmiah, pikiran manusia harus menyesuaikan diri denga kriteria-kriteria sainifik kognitif (cognitive scientific). Hal semacam ini tentunya menciptakan banyak problem, seperti terjadi analisis yang bersifat reduktif terhadap manusia, dimana manusia hanya dipandang sebagai tubuh dengan gejala-gejala fisiknya. Misalnya, orang jatuh cinta berarti ada urat saraf tertentu di otak yang mengalami rangsangan, dan sebagainya. Jika kita memahami bagaimana satu fungsi di dalam tubuh manusia bekerja, hal ini tidak berarti kita memahami bagaimana manusia seutuhnya.
Ilmu pengetahuan memahami suatu fenomena, yakni kehidupan manusia, yang telah dibentuk dan diengaruhi oleh ilmu pengetahuan. Setiap ilmu pengetahuan akan menghasilkan teknologi yang kemudian akan diterapkan pada masyarakat. Teknologi dapat diartikan sebagai penerapan konsep ilmiah dalam memecahkan masalah-masalah praktis baik yang berupa perangkat keras (hardware) maupun perangkat lunak (software). Dalam tahap ini ilmu tidak hanya menjelaskan gejala alam untuk tujuan pengertian dan pemahaman, namun lebih jauh lagi memanipulasi faktor-faktor yang terkait dalam gejala tersebut untuk mengontrol dan mengarahkan proses yang terjadi. Di sinilah masalah moral muncul kembali namun dalam kaitannya dengan faktor lain. Kalau dalam tahap kontempolasi moral berkaitan dengan metafisika maka dalam tahap manipulasi ini masalah moral berkaitan dengan cara penggunaan ilmu pengetahuan. Atau secara filsafati dalam tahap penerapan konsep terdapat masalah moral ditinjau dari segi aksiologi keilmuwan.
Pengetahuan menurut Al Kindi dibagi ke dalam pengetahuan Ilahi dan manusia. Pengetahuan Ilahi merupakan pengetahuan yang bersumber langsung dari Allah Swt. Yang biasanya ditunjukkan kepada Nabi. Jadi, pengetahuan model ini memegang keyakinan atau iman sebagai prinsipnya. Model pengetahuan kedua dimaknai sebagai pengetahuan manusiawi atau falsafati, dimana rasionalitas menjadi tolok ukurnya. Sementara ditilik dari sumber perolehannya menurut Darji Darmodiharjo (1995) pegetahuan itu dapat dibedakan sebagai berikut : (1) Apabila pengetahuan itu diperoleh melalui indra manusia, disebut pengetahuan indra pengetahuan biasa). (2) Jika pengetahuan tersebut diperoleh mengikuti metode dan sistem tertentu sereta bersifat universal, maka disebut pengetahuan ilmiah (Ilmu). (3) Jika pengetahuan itu diperoleh melalui perenungan yang sedalam-dalamnya (kontemplasi) sampai kepada hakikatnya, muncullah pengetahuan filsafat. (4) Jika pengetahuan itu bersumber dari keyakinan terhadap ajaran suatu Agama, pengetahuan ini disebut pengetahuan Agama.
Pengetahuan ilmiah atau yang lebih dikenal dengan istilah ilmu  haruslah disusun dengan metode tertentu dapat dilihat proses kronologisnya pada gambar 2.1 berikut .
Dalam filsafat moral kontemporer dikemukakan bahwa jika kita mendapatkan keuntungan dari kebaikan, keuntungan tersebut sebenarnya bukan tujuan utama, melainkan hanya efek samping. Perbuatan yang baik secara moral haruslah baik pada dirinya sendiri dan bukan hanya menguntungkan bagi orang yang melakukannya. Terlepas dari ini, banyak rumusan Arstoteles tentang keutamaan sebenarnya dapat kita setuji sampai sekarang. Hal ini tentunya bukanlah sebuah kebetulan. (Wattimena, 2008:81)
Moralitas dianggap sebagai suatu rumusan aturan yang memungkinkan kita hidup bersama di dalam masyarakat. Jika, seperti yang juga dikatakan Aristoteles, kita sungguh adalah makhluk sosial, kesejahteraan dan kebahagiaan sejati hanya dapat kita temukan di dalam kehidupan bermasyarakat. Mungkin saja, kita mendapatkan keuntungan karena orang lain mematuhi aturan hidup bersama di dalam masyarakat. Dan mungkin saja, kita juga memperoleh keuntungan karena kita sendiri seringkali melanggar beberapa aturan tersebut. Dalam proses jangka pendek, hal ini bisa berjalan. Akan tetapi dapatlah disimpulkan, bahwa prinsip ini tidaklah bisa digunakan dalam jangka panjang. Sebagai contoh, orang mungkin tidak akan terkena kanker hanya karena ia merokok. Akan tetapi, fakta ini tidak mengubah penilaian bahwa cara terbaik menghindari kanker adalah dengan tidak merokok.
Pendapat Aristoteles tentang persoalan-persoalan moral tak lain adalah pandangan konvensional pada zamannya. Dalam sejumlah segi, pandangan itu berbeda dengan yang berlaku di zaman kita, terutama jika menyangkut beberapa bentuk norma kebangsawanan. Kita berpendapat bahwa semua manusia, setidaknya dalam teori etika, memiliki hak-hak setara, dan bahwa keadilan tak terlepas dari kesetaraan ini; Aristoteles berpendapat bahwa keadilan bukanlah kesetaraan, namun pembagian hak, yang tak selalu berarti kesetaraan (Russell, 2004:235).
Secara lebih luas dapat kita lihat teori-teori dari Kantianisme, Utilitarianisme, dan Etika Keutamaan, walaupun teori-teori tersebut bukanlah suatu teori yang utuh dan sempurna, serta dapat langsung diterapkan begitu saja. Namun demikian teori-teori ini dapat digunakan seperti layaknya buku panduan ketika kita tengah membetulkan radio yang rusak. Setiap teori disini menyediakan semacam kerangka moral untuk dapat merefleksikan isu-isu moral (Wattimena, 2008:84).
Ada pandangan yang mengatakan bahwa sebaiknya kita menggunakan teori yang paling dekat dan sesuai dengan intuisi moral yang kita miliki, yakni pandangan kita pribadi tentang apa yang baik dan apa yang buruk. Walaupun tampaknya masuk akal, ada beberapa kritik yang diajukan terhadap pandangan ini. Intuisi moral, yakni pandangan kita tentang apa yang baik dan apa yang buruk tidak netral dan ontologism, melainkan hasil konstruksi dari berbagai macam aspek, seperti ajaran agama, tradisi kebudayaan setempat, dan dari teori-teori moral yang pernah kita baca. Tidak satupun tanda yang menunjukkan bahwa intuisi moral kitalah yang paling dekat dengan kebenaran moral sehingga intuisi moral tersebut bisa dijadikan tolok ukur di dalam tindakan maupun penilaian moral.
Setiap teori tentang moralitas tidak bisa tidak haruslah memberikan ruang bagi penilaian subjektif orang yang bersangkutan. Dalam hal ini, ketidakpastian dari penilaian moral dilakukan seseorang menjadi hambatan yang cukup besar. Nah dalam ketidakpastian tersebut, teori-teori etika yang ada hendak memberikan dasar yang lebih kokoh sehingga berbagai pertimbangan yang ada dapat dilihat dengan lebih jernih. Memang, tidak ada salahnya jika kita menggunakan intuisi moral subjektif kita di dalam penilaian moral yang kita lakukan.
Dari sudut pandang diatas, Kantianisme melihat moralitas di dasarkan pada pengandaian bahwa manusia adalah makhluk yang rasional. Dalam moralitas, pilihan yang dibuat oleh seseorang haruslah dapat bersifat otonom dari perasaan, emosi, ataupun pertimbangan akan keuntungan pada masa depan. Sementara itu, Utilitarianisme mendasarkan pada pertimbangan sebab akibat yang mungkin terjadi, terutama akibat-akibat yang dapat memaksimalkan kebahagian bagi sebanyak mungin pihak.
Disisi lain, Etika Keutamaan mengandaikan bahwa kita harus berupaya untuk menjadi orang yang baik, yakni orang yang mampu membuat penilaian rasinal dalam situasi yang beragam. Sekilas, etika keutamaan tampak bisa menjadi pilihan utama yang meyakinkan, tetapi pengandaian-pengandaian dasar dari pilihan moral kita tetaplah harus dipertimbangkan lebih jauh. Dengan kata lain, kita harus memeriksa kembali penilaian moral partikular kita sebelum menentukan keputusan apa yan akan kita ambil.
2.3.      Pandangan Aksiologi Tentang Fakta, Teori, Hukum dan Teknologi
Sebagian besar orang setuju jika dikatakan bahwa ilmu pengetahuan telah seringkali digunakan untuk tujuan-tujuan yang tidak pernah bisa dibenarkan secara etis, seperti penciptaaan senjata nuklir, senjata kimia, ataupun senjata biologi. Akan tetapi, deretan kasus semacam ini sama sekali bukan sebuah tanda bahwa ilmu pengetahuan pada dirinya sendiri memiliki sifat yang tidak bisa dibenarkan secara etis. Dengan kata lain, bukan ilmu pengetahuan pada dirinyalah yang tidak etis, melainkan penggunaan dari ilmu pengetahuan itulah yang tidak etis.
Untuk mengetahui lebih rinci penjelasan tentang fakta, teori, hukum dan teknologi dapat dilihat pada uraian berikut.
2.3.1    Pandangan Aksiologi Tentang Fakta
Fakta (bahasa Latin:  factus) ialah segala sesuatu yang tertangkap oleh indra manusia atau data keadaan nyata yang terbukti dan telah menjadi suatu kenyataan. Catatan atas pengumpulan fakta disebut data. Fakta seringkali diyakini oleh orang banyak (umum) sebagai hal yang sebenarnya, baik karena mereka telah mengalami kenyataan-kenyataan dari dekat maupun karena mereka dianggap telah melaporkan pengalaman orang lain yang sesungguhnya.
Dalam istilah keilmuan fakta adalah suatu hasil pengamatan yang obyektif dan dapat dilakukan verifikasi oleh siapapun.
Diluar lingkup keilmuan fakta sering pula dihubungkan dengan:
1)   Suatu hasil pengamatan jujur yang diakui oleh pengamat yang diakui secara luas.
2)    Galat  biasa terjadi pada proses interpretasi makna dari suatu pengamatan.
3)    Kekuasaan kadang digunakan untuk memaksakan interpretasi politis yang benar dari suatu pengamatan.
4)  Suatu kebiasaan yang diamati secara berulang; satu pengamatan terhadap fenomena apapun tidak menjadikan itu sebagai suatu fakta. Hasil pengamatan yang berulang biasanya dibutuhkan dengan menggunakan prosedur atau definisi cara kerja suatu fenomena.
5)    Sesuatu yang dianggap aktual sebagai lawan dari dibuat
6)    Sesuatu yang nyata, yang digunakan sebagai bahan interpretasi lanjutan
7)    Informasi mengenai subyek tertentu
8)    Sesuatu yang dipercaya sebagai penyebab atau makna
Fakta ilmiah sering dipahami sebagai suatu entitas yang ada dalam suatu struktur sosial kepercayaan, akreditasi, institusi, dan praktik individual yang kompleks. Dalam filsafat ilmu  sering dipertanyakan (yang paling terkenal adalah oleh (Thomas Kuhn ) bahwa fakta ilmiah sedikit banyak selalu dipengaruhi oleh teori (theory-laden), contohnya adalah, untuk mengetahui apa yang harus diukur dan bagaimana cara pengukurannya memerlukan beberapa asumsi mengenai fakta itu sendiri.
Di dalam sejarah filsafat ilmu, banyak filsuf ilmu yang berpendapat bahwa kita tidak mungkin menilai apakah suatu pengetahuan scientific itu etis atau tidak pada dirinya sendiri, terutama karena ilmu pengetahuan pertama-tama berhubungan dengan fakta, dan fakta pada dirinya sendiri tidak memiliki nilai etis.  Yang bisa dinilai etis atau tidak adalah apa yang kita, manusia, akan lakukan dengan fakta-fakta tersebut, apakah sikap kita dalam menggunakan ataupun berhadapan dengan fakta tersebut bermoral, atau tidak. Nah menurut pandangan ini, ilmu pengetahuan pada dasarnya adalah suatu aktivitas yang bebas nilai, yakni suatu aktivitas untuk mengungkapkan fakta-fakta netral tentang dunia. Apa yang akan dilakukan oleh masyarakat dengan fakta-fakta tersebut adalah suatu urusan lain yang tidak ada hubungannya dengan sang ilmuwan.
Proses yang dijalani oleh seorang ilmuwan, mulai dari pengumpulan data sampai perumusan suatu teori, tidak pernah sungguh-sungguh lepas dari nilai-nilai personal yang diyakini oleh ilmuwan tersebut. Beberapa filsuf mengambil argument ini untuk menunjukkan bahwa nilai tidaklah dapat dihindarkan di dalam perumusan atau pilihan atas suatu teori. Konsekuensinya, pada hakekatnya, setiap bentuk ilmu pengetahuan tidaklah mungkin bebas nilai.
Sebagaimana dikatakan diatas bahwa ilmu pengetahuan pada dasarnya adalah suatu aktivitas yang bebas nilai, yakni suatu aktivitas untuk mengungkapkan fakta-fakta netral tentang dunia. Di dalam perjalanannya, pandangan ini pun mendapatkan banyak kritik. Tidak semua filsuf ilmu pengetahuan menerima pandangan ini bahwa ilmu pengetahuan bersifat netral dalam kaitannya dengan nilai, atau tentang pembedaan yang tegas dan jelas antarafakta (fact) dan nilai (value). Beberapa di antara mereka berpendapat bahwa ideal bebas nilai di dalam sains tidak akan pernah dapat dicapai di dalam realitas. Setiap bentuk penyelidikan scientific selalu sudah menandung penilaian nilai tertentu (laden with value judgments).
Pendapat lain dari Thomas Kuhn bahwa setap pengetahuan ilmiah tdak pernah bisa dilepaskan dari penerapan praktis sebagai hasil dari penelitian scientific yang dilakukan. Dari sudut pandang ini, adalah naïf, jika kita memandang ilmuwan sebagai orang yang tidak memiliki kepentingan sama sekali, bahwa ia melakukan suatu penelitian ilmiah melulu demi penelitian itu sendiri  tanpa pernah memikirkan penerapan praktis dari hasil  penelitian ilmiah tersebut. Fakta bahwa sekarang ini banyak penelitian ilmiah yang di danai oleh perusahaan-perusahaan swasta, yang tentunya memiliki kepentingan komersial, memberikan data yang kuat bagi argumen ini.
2.3.2    Pandangan Aksiologi Tentang Teori
Thomas Kuhn pernah menulis bahwa setiap bentuk observasi di dalam sains selalu sudah mengandung teori (Theory Laden). Salah satu argument yang digunakan untuk mengkritik pengandaian bebas nilai di dalam sains adalah bahwa setiap ilmuwan, apapun bidang ilmu yang digelutinya, selalu sudah memilih tema apa yang akan ditelitinya seuai penghayatan nilai dan minat yang ia punyai. Dalam arti yang sempit, penghayatan nilai dan minat yang sang ilmuwan punyai tersebut adalah suatu bentuk nilai tertentu yang tidak bisa begitu saja diabaikan.
Disamping itu, ada argumen yang seringkali digunakan untuk mengkritik pengandaian bebas nilai di dalam sains ini, yakni bahwa setiap data yang dianalisis, di dalam bidang ilmu manapun, selalu sudah ditafsirkan dan kemudian dimengertidengancara yang berbeda-beda.
Terdapat dua kategori dasar aksiologi :
1. Objectivism, yaitu penilaian terhadap sesuatu yang dilakukan apa adanya sesuai keadaan objek yang dinilai.
2. Subjectivism, yaitu penilaian terhadap sesuatu dimana dalam proses penilaian terdapat ntunsur intuisi (perasaan).
Dari sini muncul empat pendekatan etika, yaitu :
1) Teori nilai intuitif
2) Teori nilai rasional
3) Teori nilai alamiah
4) Teori nilai emotif
Teori nilai intuitif dan teori nilai rasional beraliran obyectivis sedangkan teori nilai alamiah dan teori nilai emotif beraliran subyektivis. Untuk ebih rincinya dapatdilihat pada uraian dibawah ini.
1) Teori Nilai intuitif (The Intuitive theory of value)
Teori ini berpandangan bahwa sukar jika tidak bisa dikatakan mustahil untuk mendefinisikan suatu perangkat nilai yang absolut. Bagaimanapun juga suatu perangkat nilai yang absolute itu eksis dalam tatanan yang bersifat obyektif. Nilai ditemukan melalui intuisi karena ada tatanan moral yang bersifat baku. Mereka menegaskan bahwa nilai eksis sebagai piranti obyek atau menyatu dalam hubungan antar obyek, dan validitas dari nilai tidak bergantung pada eksistensi atau perilaku manusia. Sekali seseorang menemukan dan mengakui nilai tersebut melalui proses intuitif, ia berkewajiban untuk mengatur perilaku individual atau sosialnya selaras dengan preskripsi moralnya.
2) Teori nilai rasional (The rational theory of value)
Bagi mereka janganlah percaya padanilai yang bersifat obyektif dan murni independent dari manusia. Nilai tersebut ditemukan sebagai hasil dari penalaran manusia. Fakta bahwa seseorang melakukan suatu yang benar ketika ia tahu degan nalarnya bahwa itu benar, sebagai fakta bahwa hanyaorang jahat atu yang lalai ynag melakukan sesuatu berlawanan dengan kehendak atau wahyu tuhan. Jadi dengan nalar atau peran tuhan nilai ultimo, obyektif, absolut yang seharusnya mengarahkan perilakunya.
3) Teori nilai alamiah (The naturalistic theory of value)
Nilai menurutnya diciptakan manusia bersama dengan kebutuhan-kebutuhan dan hasrat-hasrat yang dialaminya. Nilai adalah produk biososial, artefak manusia, yang diciptakan , dipakai, diuji oleh individu dan masyarakat untuk melayani tujuan membimbing perilaku manusia. Pendekatan naturalis mencakup teori nilai instrumental dimana keputusan nilai tidak absolute tetapi bersifat relative. Nilai secara umum hakikatnya bersifat subyektif, bergantung pada kondisi manusia.
4) Teori nilai emotif (The emotive theory of value)
Jika tiga aliran sebelumnya menentukan konsep nilai dengan status kognitifnya, maka teori ini memandang bahwa konsep moral dan etika bukanlah keputusan factual tetapi hanya merupakan ekspresi emosi dan tingkah laku. Nilai tidak lebih dari suatu opini yang tidak bisa diverivikasi, sekalipun diakui bahwa penelitian menjadi bagian penting dari tindakan manusia.
Menurut Kerlinger, dalam Bilson (2004:11), teori adalah sejumlah konsep (construct), definisi, dan proposisi yang menampilkan pandangan atas suatu fenomena secara spesifik dengan menjelaskan hubungan-hubungan di antara variabel-variabel yang bertujuan untuk menjelaskan dan memprediksi fenomena.
Ada tiga pokok pikiran dalam Teori yaitu:
1)  Di dalam teori terdapat konsep, definisi, dan proposisi yang saling berhubungan.Teori menjelaskan hubungan antar variabel atau antar konsep (construct), sehingga fenomena-fenomena di lapangan yang dijelaskan oleh variabel, dapat dilihat dengan jelas. Tujuan teori adalah menjelaskan atau memprediksi fenomena. Menurut Jalaluddin Rakhmat, dalam Bilson (2004: 12) ada lima ciri teori ilmiah, yaitu: 1) Teori terdiri atas proposisi-proposisi 2) Konsep-konsep dalam proposisi dibatasi pengertiannya dengan jelas, 3) Teori harus dapat diuji kebenarannya, 4) Teori harus dapat melakukan prediksi DAN 5)  Teori harus dapat melahirkan proposisi-proposisi baru.  
      Fungsi Teori : 
           1) Fungsi ekplanatif, Teori harus mampu menjelaskan hubungan antara peristiwa yang satu dengan peristiwa yang lain, yang terdapat pada pengalaman empiris.  
         2) Fungsi Prediktif, Teori dapat meramal atau memprediksi  
       3) Fungsi kontrol, Teori mampu mengendalikan peristiwa supaya tidak mengarah pada hal-hal yang tidak diinginkan.
Keterkaitan Antara Fakta dan Teori
Teori ilmiah harus dapat dibuktikan, yaitu dengan melihat fakta atau data empiris di lapangan. Tidak semua teori dapat dibuktikan. Pengujian teori secara empiris merupakan tugas metodologi penelitian.
M. Nazir dalam Bilson (2004:13) mengatakan bahwa fakta adalah pengamatan yang telah diverifikasi secara empiris. Sebenarnya peranan fakta tidak sekedar membuktikan kebenaran teori. Menurut M. Nazir ada empat peranan fakta terhadap teori yaitu : Menolong memprakarsai teori baru, Memberi jalan untuk mereformulasi teori lama Menjadi dasar penolakan teori dan  Mengubah fokus dan orientasi teori
Keterkaitan Antara Teori dan Penelitian
Hubungan antara teori dan penelitian bersifat timbal balik yaitu :  Teori dapat meringkaskan fakta, Teori dapat melakukan generalisasi terhadap fakta dan Teori dapat memprediksi fakta-fakta yang mungkin terjadi maka dengan teori penelitian jadi semakin terfokus.
Menurut Herman Soewardi (2004:150), Teori termasuk bidang sains empirikal, yang dalam mengungkapkannya harus berlandaskan petunjuk Tuhan Tapi Ilmu Barat sekuler mengingkari petunjuk ini, karena itu mereka berspekulasi tentang alam. Karena itu teori merupakan spekulasi yang mencoba menerangkan alam-alam (kebendaan atau keperilakuan manusia) dan berlandaskan pada ramalan. Apa sebab demikian? Karena teori dimulai dari self evident proposition, yaitu ketentuan-ketentuan yang dianggap benar, yang bisa benar bisa salah. Jika premis benar, maka benar pula deduksi daripadanya dan sebaliknya. Ilmu Barat Sekuler menyangka deangan memperbanyak data akan sampai pada kebenaran.
Teori berkaitan erat dengan pola pikir, baik dalam ilmu alamiah maupun dalam ilmu sosial. Karena itu semua teori atau pola pikir hanya bertalian dengan sekelumit saja alam realita yang diciptakan Tuhan. Jadi teori atau pola pikir itu tidak netral artinya teori atau pola pikir memilih sebagian dan meninggalkan yang lain.  Sesama pola pikir itu tidak selalu konsisten dengan yang lain, terlebih antara pola pikir diri dengan pola pikir antar diri. Dalam ilmu sosial kita mendapati banyak pola pikir.  
2.3.3    Pandangan Aksiologi Tentang Hukum
2.3.3.1 Pandangan lImiah atas Hukum
Franz Magnis Suseno dengan mengutip para ahli Jerman, antara lain Reinhold Zippelius, mengemukakan bahwa terdapat tiga nilai dasar yang harus direalisir di dalam hukum, yaitu Nilai kesamaan, kebebasan dan solidaritas.
Pada Nilai kesamaan dikatakan eksistensi hukum hanya masuk akal apabila hukum dapat menjamin nilai kesamaan. Penyelesaian konflik dalam masyarakat modern tidak lagi didasarkan kepada siapa yang kuat atau siapa yang lemah, melainkan di dasarkan pada criteria objektif yang berlaku bagi pihak kuat dan pihak yang lemah. Nilai kesamaan dalam etika politik disebut “keadilan”. Keadilan adalah keadaan antar manusia di mana manusia diperlakukan sama dalam situasi yang sama.
Pada Nilai kebebasan hukum mencegah pihak yang kuat mendominasi atau mencampuri pihak lemah, ia langsung memperlihatkan bahwa hukum melindungi kebebasan manusia, fungsi hukum sebagai penjamin kebebasan manusia menjadi poko filsafat hukum. Sedangkan dalam kebersamaan, hukum adalah institusional dari kebersamaan manusia. Sebagai makhluk social, manusia secara hakiki harus hidup bersama. Untuk itu ia memerlukan tatanan hukum untuk mengatur hubungannya dengan sesame manusia.
Pada  zaman  ini  Empirisrne  yang  menekankan  perlunya  basis ernpiris bagi  semua pengertian berkernbang menjadi Positivisme yang menggunakan metode pengolahan ilmiah. Dasar dari aliran ini digagas oleh August Cornte ( 1789- I857), seorang filsuf Perancis, yang menyatakan  bahwa  sejarah  kebudayaan  manusia  dibagi  dalarn  tiga  tahap: tahap pertama adalah tahap teologis yaitu tahap dimana orang mencari kebenaran  dalam  agama,  tahap  kedua  adalah  tahap  metafisis  yaitu tahap dimana orang mencari kebenaran melalaui filsafat. Tahap ketiga adalah tahap positif yaitu tahap dimana kebenaran dicari melaui ilmu- ilmu pengetahuan.  Menurut Comte yang terakhir inilah yang merupa- kan icon dari  zaman modem (Comte,  1874: 2). Bagi  filsafat  hukum,  hukum  di  abad  pertengahan  amat  dipe- ngaruhi oleh pertirnbangan-pertimbangan teologis.  Sedangkan rentang waktu   dari   renaissance   hingga   kira-kira   pertengahan   abad   ke-19 termasuk  dalam  tahap  metafisis.  Ajaran  hukum  alam  klasik  maupun filsafat-filsafat   hukum   revolusioner   yang   didukung   oleh   Savigny, Hegel  dan  Marx  diwarnai  oleh  unsur-unsur metafisis  tertentu.  Teori- teori  ini  mcncoba menjelaskan si fat  hukum dengan  menunjuk kepada ide-ide  tertentu  atau  prinsip-prinsip  tertinggi.  Pada  pertengahan  abad ke-19  sebuah  gerakan  mulai  menentang  tendensi-tcndensi  metafisika yang  ada  pada  abad-abad  sebelumnya.  Gerakan  ini  mungkin  dijelas- kan  sebagai  positivisme,  yaitu  sebuah  sikap  ilrniah,  mcnolak  speku- lasi-spekulasi  apriori  dan   mcmbatasi  dirinya  pada  data  pengalarnan (Muslehuddin,  ]991:  27-28).  (penjelasan berikutnya tcntang positivis- me  hukum  ini  akan  dijelaskan  dalam  Bab  VI  Teori  Hukum,  sub  bab Positivisme Hukum).
2.3.3.2 Pandangan Historis atas Hukum
Abad ke-XIX ditandai  perubahan bcsar di  segala  bidang, terutama akibat  perkembangan   ilmu   pcngetahuan   dan   teknologi.   Perubahan yang  dimulai   dengan   perkembangan   ilmu  pengetahuan,  penemuan alat-alat teknologi, hingga revolusi industri, dan terjadinya perubahan- perubahan  sosial  beserta  masalah-rnasalah  sosial  yang  mucul  kernu- dian memberi  ruang kepada para sarjana untuk berpikir tentang gejala perkembangan itu  sendiri.  Pada abad-abad  sebelumnya, orang merasa kehidupan  manusia  sebagai  sesuatu  yang  konstan  yang  hampir  tidak berbeda  dengan  kehidupan   masa  lalu.   Pada  abad  ini   perasaan  itu hilang,  orang  telah  sadar  tentang  segi  historis  kehidupannya,  tentang kemungkinan terjadinya perubahan-perubahan yang memberikan nilai baru dalam kehidupannya.
Pada abad ini,  pengertian tentang hukum merupakan pandangan baru atas hidup, yaitu hidup sebagai perkembangan manusia dan kebudayaan.  Beberapa pemikiran tokoh yang mencerminkan ha]  ini  adalah Hegel  (1770-]831),  F .  Von  Savigny  (1779-186]),  dan   KarI   Marx (18] 8- I883).  Hegel  menempatkan  hukum dalam  keseluruhan  perwu- judan  roh  yang  objektif dalam  kchidupan  manusia.  F.  Von  Savigny menentukan   hukum   sebagai  unsur  kebudayaan  suatu   bangsa  yang berubah  dalam   Iintasan   sejarah.   Terakhir,   Karl   Marx   memandang hukum sebagai cermin situasi ekonomis masyarakat (Soetiksno,  1986: 43-61 ).
Thomas Aquinas mengatakan bahwa setiap hukum yang disusun oleh manusia memiliki karakter hukum yang pada tingkatan tertentu, berasal dari hukum alam.Namun jika pada titik tertentu ia bertentangan dengan hukum alam, ia seketika itu juga tidak akan lagi menjadi hukum, ia hanya merupakan penyimpangan hukum. (Russell, 2004:816).
2.3.3.3 Pengertian Hukum Abad XX
Meskipun terdapat persamaan tentang  pembentukan sistem hukum yang berlaku, namun pada abad XX  ini ada  perbedaan tentang pengertian hukum yang hakiki. Ada dua arus besar pandangan ten tang pengertian hukum yang hakiki (K.Bertens,1981):
1)        Hukum sebaiknya dipandang dalam hubungannya dengan pemerintah negara, yaitu sebagai norma hukurn yang de facto berlaku. Tolak ukurnya  adalah kepentingan umum dilihat sebagai bagian kebudayaan dan sejarah  suatu bangsa. Pandangan ini bersumber dari aliran sosiologi hukum dan  realisme hukum.
2)         Hukum  seharusnya  dipandang  sebagai  bagian  kehidupan  etis manusia di dunia. Oleh kacna itu disini diakui adanya hubungan antara  hukum  positif dengan  pribadi  manusia,  yang  berpegang pada  norma-norma  keadilan. Prinsip ini diambil dari filsafat neoskolastik,  neokantismc, neohegelianisme dan fiIsafat eksistensi,
Hukum dan Keadilan
Tujuan  akhir  hukum  adalah  keadilan.  Oleh  karena  itu,  segala usaha   yang  terkait   dengan   hukum   mutlak  harus   diarahkan  untuk menemukan   sebuah  sistem  hukum  yang  paling  coeok  dan   sesuai dengan  prinsip  keadilan.  Hukum harus  terjalin  erat dengan  keadilan, hukum  adalah  undang-undang  yang  adil,  bila  suatu  hukum  konkrit, yakni  undang-undang  bertentangan  dengan  prinsip-prinsip  keadilan, maka hukum itu tidak bersifat normatif lag i dan tidak dapat dikatakan sebagai   hukum   lagi.   Undang-undang   hanya   menjadi   hukum   bila memenuhi prinsip-prinsip keadilan. Dengan kata  lain, adil  merupakan unsur  konstitutif segala  pengertian  tentang  hukum  (Huijbers,  1995:70).
Sifat  adil   dianggap  sebagai  bagian  konstitutif  hukum  adalah karena  hukum dipandang  sebagai  bagian  tugas etis  manusia  di  dunia ini,   artinya   manusia   wajib   membentuk  hidup   bersama   yang  baik dengan mengatumya secara adil.  Dengan kata  lain kesadaran manusia yang  timbul   dari   hati   nurani   tentang  tugas   suei   pengemban  misi keadilan  secara  spontan  adalah  penyebab  mengapa  keadilan  menjadi unsur  konstitutif  hukurn.   Huijbers  menambahkan  alasan  penunjang mengapa keadilan menjadi unsur konstitutifhukum:
1)     Pemerintah  negara  manapun  selalu  membela  tindakan  dengan memperlihatkan keadilan yang nyata di dalamnya.
2)     Undang-undang  yang  tidak  sesuai  dengan  prinsip-prinsip  ke- adilan  seringkali  dianggap  sebagai  undang-undang  yang  telah usang dan tidak berlaku lagi.
3)  Dengan  bertindak  tidak  adil,  suatu  pemerintahan  sebenamya bertindak di luar wewenangnya yang tidak sah seeara hukum.
Konsekuensi pandangan kontinental sistem tentang nilai keadilan:  hukum adalah  undang-undang  yang  adil,  adil  merupakan  unsure konstitutif dari  segala  pengertian  hukum,  hanya  peraturan  yang  adil yang disebut hukum:
1)     Hukum melebihi negara. Negara (pemerintah) tidak boleh membentuk hukum yang tidak adil. Lebih percaya pada prinsip-prinsip moral yang dimuat dalam undang-undang dari  pada kebijaksanaan manusia dalam bentuk putusan-putusan hakim.
2)     Sikap  kebanyakan  orang  terhadap  hukum  mencerminkan  pe- ngertian  hukum  ini,  yaitu  hukum  sebagai  moral  hidup  (norma ideal).
3)   Prinsip-prinsip pembentukan hukum (prinsip-prinsip keadilan) bersifat etis, maka hukum sebagai keseluruhan mewajibkan secara batiniah.
2.2.4    Pandangan Aksiologi Mengenai Teknologi
Beberapa pengertian teknologi telah diberikan antara lain oleh David L. Goetch : “People tools, resources, to solve problems ot to extend their capabilities”, sehingga teknologi dapat dipahami sebagai “upaya” untuk mendapatkan suatu “produk” yang dilakukan oleh manusia dengan memanfaatkan peralatan (tools), proses dan sumber daya (resources). Pengertian yang lain, telah diberikan oleh Arnold Pacey “The application on scientific and other knowledge to practical task by ordered systems, that involve people and organizations, living things and machines”. Dari definisi ini nampak, bahwa teknologi tetap terkait pada pihak-pihak yang terlibat dalam perencanaannya, karena itulah teknologi tidak bebas organisasi, tidak bebas budaya dan sosial, ekonomi dan politik.
Jujun S. Suriasumantri (1996) mendefinisikan teknologi adalah penerapan konsep ilmiah dalam memecahkan masalah-masalah praktis baik yang berupa perangkat keras (hardware) maupun perangkat lunak (software).
Definisi teknologi yang lain diberikan oleh Rias Van Wyk “Technology is a “set of minds” created by people to facilitate human endeavor”. Dari definisi tersebut, ada beberapa esensi yang terkandung yaitu :
1)  Teknologi terkait dengan ide atau pikiran yang tidak akan pernah berpikir, keberadaan teknologi bersama dengan keberadaan budaya umat manusia.
2)  Teknologi merupakan kreasi dari manusia, sehingga tidak alami dan bersifat artificial.
3)  Teknologi merupakan himpunan dari pikiran (set of minds), sehingga teknologi dapat dibatasi atau bersifat universal, tergantung dari sudut pandang analisis.
4)  Teknologi bertujuan untuk memfasilitasi human endeavor (ikhtiar manusia), sehingga teknologi harus mampu meningkatkan performansi (kinerja) kemampuan manusia.
Dari definisi diatas, ada tiga entitas yang terkandung dalam teknologi, yaitu skill (keterampilan), algoritma (logika berpikir), dan hardware (perangkat keras). Dalam pandangan Management of Technology, teknologi dapat digambarkan dalam beragam cara:
1.    Teknologi sebagai makna untuk memenuhi suatu maksud didalamnya terkandung apa saja yang dibutuhkan untuk merubah (mengkonversikan) sumber daya (resources) ke suatu produk atau jasa.
2.    Teknologi tidak ubahnya sebagai pengetahuan, sumber daya yang diperlukan untuk mencapai suatu tujuan (objective).
3.    Teknologi adalah suatu tubuh dari ilmu pengetahuan dan rekayasa (engineering) yang dapat diaplikasikan pada perancangan produk dan proses atau pada penelitian untuk mendapatkan pengetahuan baru.
Suatu teknologi biasanya dimulai dari imajinasi, baik secara individual atau kelompok dengan memanfaatkan sentuhan fenomena alam dan kebutuhan-kebutuhan praktis. Dari imajinasi tersebut seorang individu atau kelompok mengembangkan menjadi suatu temuan (invention).
Untuk mengembangkan temuan itu menjadi suatu produk yang unggul. Para ilmuwan melakukan penelitian-penelitian sehingga hasilnya nanti dapat dimanfaatkan oleh manusia.
Teknologi yang telah dikembangkan dari hasil penelitian tersebut mempunyai fungsi sebagai berikut :
1.    Sebagai sarana untuk memberikan kemudahan bagi kehidupan manusia.
2.    Meningkatkan performansi (kinerja) kemampuan manusia.
Dalam penggunaan teknologi yang merupakan produk dari ilmu pengetahuan sering kali terjadi penyalahgunaan Teknologi yang semula digunakan untuk kemaslahatan manusia malah dapat memberikan kerugian yang besar bagi kehidupan. Teknologi tidak lagi berfungsi sebagai sarana yang memberikan kemudahan bagi kehidupan manusia melainkan dia berada untuk tujuan eksistensinya sendiri. Sesuatu yang harus dibayar mahal oleh manusia yang kehilangan sebagian arti dari kemanusiaannya.
BAB III
APLIKASI AKSIOLOGI
Sebuah perusahaan yang bergerak dalam bidang jasa, membutuhkan pengembangan-pengembangan dalam program-program komunikasi yang terintegrasi agar  dapat mencapai kesuksesan di pasar dan mencapai tujuan perusahaan. Yang dimaksud dengan komunikasi pemasaran adalah usaha perusahaan untuk mempertahankan, mengajak, dan mengingatkan konsumen secara langsung dan tidak langsung tentang produk/jasa dan merek yang mereka jual. Komunikasi pemasaran juga menggambarkan bentuk dari merk, merubah percakapan dan membangun  relasi dengan para konsumen.
Terdapat beberapa perbedaan antara komunikasi pemasaran yang digunakan oleh perusahaan yang menjual produk dengan komunikasi pemasaran untuk perusahaan jasa. Dalam implikasi komunikasi pemasaran dalam bidang jasa, harus disesuaikan dengan kharakteristik bidang jasanya. Manfaat yang dirasakan konsumen dari performa jasa lebih sulit untuk dikomunikasikan lepada konsumen, karena sifat intangible dari jasa sendiri, terlebih jasa yang memiliki kharakteristik low-contact services. Maka dari itu komunikasi pemasaran perusahaan jasa tetap harus menampilkan sisi tangible dari jasa, sebagai contoh pada periklanan jasa kartu kredit Master Card yang menampilkan barang-barang apa saja yang dapat dibeli dari kartu elektronik ini.
Sebuah perusahaan harus dapat berkreasi apabila ingin mempromosikan jasanya, yaitu adalah dengan memunculkan sisi tangible yang dapat dikenali dari jasa tersebut. Sisi tangible ini haruslah diupayakan mencerminkan merek dari jasa yang dijual tersebut, baik dalam bentuk suatu metáfora maupun bentuk-bentuk ilustrasi dalam hal-hal yang tangible.
Dalam kharakteristik jasa dimana konsumen memiliki keterlibatan yang tinggi dengan proses produksi, konsumen biasanya telah mengetahui berapa besarnya resiko yang akan ditanggungnya bila menggunakan service tersebut. Resiko ini dapat berupa resiko dalam biaya, resiko fisik, waktu, energi, tenaga, maupun resiko psikis. Seorang dokter gigi akan memberikan terlebih dahulu gambaran bagaimanakah proses jalannya sebuah operasi kepada pasienya, sehingga sebelum memilih untuk dioperasi pasien tersebut dapat mempersiapkan mentalnya dalam menghadapi pengalaman dioperasi tersebut. Dalam hal ini, tugas pemasar adalah memberikan bentuk promosi yang efektif untuk kharakteristik jasanya. Bentuk sales promotions merupakan satu contoh dalam mengkomunikasikan kharakteristik jasa ini, karena dengan bentuk ini memungkinkan adanya kontak langsung antara tenaga pemasar sehingga dapat memberikan dorongan motivasi kepada konsumen agar mereka mau menggunakan jasa. Contoh lain adalah mempublikasikan ke masyarakat bahwa perusahaan memberikan potongan harga atau suatu undian berhadiah, sehingga diharapkan hal ini dapat memberikan suatu motivasi khusus pada konsumen untuk menggunakan jasa. 
Ketika suatu perusahaan telah menetapkan suatu rencana bisnis, maka bersamaan dengan itu perusahaan harus menentukan secara spesifik formula komunikasi yang akan digunakan, formula ini harus sesuai dengan tujuan perusahaan, menggunakan media yang tepat, pesan yang tepat, serta biaya yang sesuai dengan anggaran perusahaan.
Beberapa kemungkinan formulasi tujuan komunikasi perusahaan, yaitu :
1)    Untuk menciptakan Awareness pada layanan baru yang diberikan perusahaan pada seluruh konsumen.
2)    Menarik perhatian pelanggan yang potensial dalam segmen jasa, menginformasikan features-features layanan yang baru, serta mengajarkan bagaimana prosedur penggunaan jasa yang efektif.
3)    Menstimulasi dan meningkatkan pesanan .
4)     Untuk meningkatkan repeat patronage sebesar 20 % setelah 6 bulan.
Berikut contoh bentuk rumusan tujuan promosi dan edukasi dari perusahaan Jasa menurut Zethamal (2005 : 198)
Tabel 2.1
Common Educational and Promotional Objectives
In Service Settings

1.     Create memorable images of specific companies and their brands
2.     Build awareness of and interest in an unfamiliar service or brand
3.     Build preference by communicating the strengths and benefits of a specific brand
4.     Compare a service with competitors’ offerings and counter competitive claims.
5.     Reposition a service relative to competing offerings
6.     Stimulate demand in low-demand periods and discourage demand during peak periods
7.     Encourage trial by offering promotional incentives
8.     Reduce uncertainty and perceived risk by providing useful information and advice
9.     Familiarize customers with service processes in advance of  use
10.   Teach customers how to use a service to their own best advantage
11.   Recognize and reward valued customers and employees

            Sumber : Zethamal (2005 : 198)
Perencanaan komunikasi pemasaran harus dapat menggambarkan suatu pemahaman jasa yang baik kepada para pelanggan, sehingga pada akhirnya mereka memutuskan untuk membeli. Formulasi ini juga harus memahami target serta segmen manakah yang akan dituju, sehingga keputusan penggunaan media juga akan bergantung dari analisis kharakteristik segmen dan target pelanggan tersebut. Keputusan perencanaan komunikasi pemasaran juga mencakup hal-hal seperti penentuan isi pesan, struktur pesan, gaya komunikasi, media yang sesuai, anggaran biaya, jangka waktu promosi, metode promosi serta evaluasi akhir dari kegiatan promosi.
Perencanaan komunikasi pemasaran juga harus disesuaikan dengan posisi perusahaan di pasar atau product life cycle (PLC). Tabel Berikut akan menggambarkan tujuan komunikasi perusahaan berdasarkan posisi perusahaan di pasar

Tabel 3.2
COMMUNICATION CONTENT AND OBJECTIVES
Product Life Cycle
Communication
Content
Communication Objectives
Introduction Informational Introduce the service offering
Create brand awareness
Prepare the way for personal selling efforts
Encourage trial
Growth and maturity Informational
And persuasive
Create a positive attitude relative to competitive offerings
Provoke an immediate buying action
Enhance the firm’s image
Maturity and decline Persuasive and
Reminder
Encourage repeat purchases
Provide ongoing contact
Express gratitude to existing customer base
Confirm past purchase decisions
Zethamal (2005 : 187)
Bauran Komunikasi Pemasaran Jasa
 Menurut Zethamal (2005:199) “ Marketing Communications mix is access to numerous forms of communication, referred to collectively”. Dari definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa bauran komunikasi pemasaran adalah berbagai bentuk komunikasi yang secara bersama-sama membantu pencapaian tujuan perusahaan. Merumuskan bauran pemasaran adalah tugas seorang pemasar, sebagai contoh : pendekatan apakah yang nantinya akan digunakan untuk memilih bentuk komunikasi yang paling efisien dan paling efektif dalam menyampaikan pesan pada target sasaran.
Zethamal (2005:199), Para ahli komunikasi telah membagi dua divisi komunikasi pemasaran, yaitu :
1)    Personal Communications, dalam bentuk ini, sebuah pesan disampaikan hanya kepada seorang atau perorangan, serta menggunakan pendekatan personal.
2)    Impersonal Communications, dalam bentuk komunikasi ini, pesan disampaikan secara umum pada seluruh target sasaran.
Namun kemajuan teknologi ternyata telah membuat kedua bentuk ini menjadi samara, karena denga adanya teknologi informasi, dapat merubah bentuk pesan personal, namun disampaikannya secara general atau umum dengan bantuan internet dan database. Perusahaan dapat menggunakan direct mail dan e-mail messages untuk mengirimkan promosi produk layanannya dengan bantuan database pelanggan, sehingga pesan yang diterima oleh konsumen berupa personal message dari perusahaan. 
Menurut Zethamal (2005 : 198) bauran pemasaran jasa terdiri dari 6 bentuk, yaitu :
·        Personal Communication (komunikasi personal) Berdasarkan gambar, maka komunikasi personal ini terbagi lagi menjadi 5 bagian, yaitu :
·        Personal Selling Personal selling (Penjualan Secara Pribadi) yaitu Interaksi langsung satu calon pembeli atau lebih unuk melakukan presentasi, menjawab pertanyaan, dan menerima pesanan. Dalam perusahaan jasa, bentuk komunikasi ini termasuk mahal, karena membutuhkan sumber daya yang dapat mempromosikan produk secara langsung bertatapan muka dengan pelanggan maupun calon pelanggan.
·         Customer Service ”Customer Service is the provision of suplementary service elements by employees who are not specifically engaged in selling activities”. Zethamal (2005:200). Menurut definisi tersebut, maka Customer Service merupakan sekelompok pekerja dalam perusahaan yang memberikan pelayanan, baik itu memberikan informasi, menerima reservasi, menerima pembayaran maupun memberikan solusi suatu pemecahan masalah kepada para pelanggan, sehingga Customer Service tidak harus dari pegawai perusahaan dari bagian pemasaran.
·         Customer training Formal training courses offered by service firms to teach customers about complex service products”. Zethamal (2005:200). Customer training merupakan bentuk edukasi perusahaan kepada pelanggannya, dengan cara memberikan pengetahua-pengetahuan serta pelatihan-pelatihan tentang kompleksitas layanan yang ditawarkan perusahaan.
·         Word of mouth  “positive or negative comments about a service made by one individual (usually a current or former customer) to another”. Zethamal (2005 : 200) Bentuk ini merupakan komunikasi yang dilakukan oleh para konsumen yang berpengalaman dalam merasakan pelayanan yang diberikan perusahaan, untuk mengelola agar komunikasi dari mulut ke mulut antar pelanggan tetap positi, maka perusahaan harus selalu menjaga performa layanan. Bentuk komunikasi ini sangat efektif dalam membentuk persespsi pelanggan pada pelayanan perusahaan.  
·         Telemarketing Komunikasi ini merupakan komunikasi personal antara personel perusahaan dengan pelanggan melalui media komunikasi telepon maupun Internet.
2.          Sedangkan Bentuk komunikasi ImPersonal Communication (komunikasi non personal) terbagi sebagai berikut :
·           Advertising “Advertising is any form of non personal communication by  marketer to inform, educate, or persuade members of target audiences”. Zethamal (2005:201). Periklanan merupakan segala bentuk komunikasi nonpersonal yang berupa promosi yang berupa informasi akan keunggulan jasa perusahaan lepada target sasaran, komunikasi ini biasanya dikelola oleh agensi yang telah ditentukan oleh perusahaan.
·          Sales promotion  “a short term incentive  and intermediaries to stimulate product purchase”. Zethamal (2005 : 201). Promosi penjualan merupakan berbagai jenis insentif jangka pendek untuk untuk mendorong orang mencoba atau membeli jasa yang ditawarkan perusahaan.
·          Public relations    
·          “efforts to stimulate positive interest in a company and its products by sending out news releases, holding press conferences, staging  special events, and sponsoring news worthy activities put on by third parties”. Zethamal (2005:202). Hubungan masyarakat dan publikasi merupakan berbagai program yang dirancang perusahaan untuk mempromosikan atau melindungi citra perusahaan atau masing-masing produknya. Terdapat berbagai cara dalam program publikasi, contohnya hádala mengadakan pers konferensi pada peluncuran produk baru, kegiatan sponsorship, maupun event-event perusahaan dalam rangka membangun citra perusahaan.
·           Corporate design  “ the consistent application of distinctive  colours, symbols, and lettering to give a firm an easily recognizable identity”. Zethamal (2005:202). Desain perusahaan merupakan bagian penting dari operasi perusahaan dalam mengembangkan kekuatan bersaing dalam pasar, dimana kekuatan desain ini dapat membawa suatu image tersendiri bagi perusahaan sehingga mudah dikenali dan dapat mewakili kualitas yang diberikan perusahaan hanya dari sebuah simbol.
·           Services Scape  “the design of any physical location where customers come to place orders and obtain service delivery”. Bauran komunikasi pemasaran yang terkahir yaitu pengelolaan pada lokasi fisik jasa.
Dalam mengelola komunikasi pemasaran, maka perusahaan harus melalui tahapan untuk menganalisis dimanakah posisi perusahaannya bergerak serta posisioning perusahaan.  Setelah merumuskan anggaran komunikasi pemasaran berdasarkan target posisioning seperti gambar di atas tersusun, perusahaan perlu menentukan target pasar sasaran, tujuan promosi perusahaan. Walaupun perumusan kegiatan-kegiatan atau program promosi terbagi menjadi beberapa bentuk dengan berbagai macam media, keseluruhan dari tujuan komunikasi pemasaran ini adalah satu.                      
BAB IV
KESIMPULAN
Fisafat berasal dari kata Yunani, yakni philosophia yang berarti adalah cinta (philia) kebijaksanaan (Sophia atau sophos). Bijaksana memiliki dua segi arti, yang pertama memiliki pengertian yang mendalam dan yang kedua memiliki sikap hidup yang benar. Sementara benar adalah yang baik dan yang tepat. Jadi filsafat itu mencari kebijaksanaan.
Ilmu adalah kumpulan dari pengetahuan yang diperoleh melalui kegiatan penelitian ilmiah yang hasilnya dapat dipertanggungjawabkan secara keilmuwan. Ilmu merupakan produk dari proses berfikir manusia. Ilmu bersifat netral pada bagian epistemologi dan ontologi saja sedangkan pada tingkat aksiologi ilmu terikat dengan nilai-nilai. Dalam memanfaatkan atau menggunakan ilmu maka hendaknya kita berlandaskan kepada moral sebagai landasan normatifnya.
Ilmu merupakan sesuatu yang paling penting bagi manusia. Karena dengan ilmu semua keperluan dan kebutuhan manusia bisa terpenuhi secara lebih cepat dan lebih mudah. Dan merupakan kenyataan yang tidak bisa dipungkiri bahwa peradaban manusia sangat berhutang kepada ilmu. Singkatnya ilmu merupakan sarana untuk membantu manusia dalam mencapai tujuan hidupnya.
Ilmu tidak hanya menjadi berkah dan penyelamat manusia, tetapi juga bisa menjadi bencana bagi manusia. Misalnya pembuatan bom yang pada awalnya memudahkan untuk kerja manusia, namun kemudian digunakan untuk hal-hal yang bersifat negatif yang meninbulkan malapetaka bagi manusia itu sendiri, seperti bom yang terjadi di Bali. Disinilah ilmu harus diletakkan secara proporsional dan memihak kepada nilai-nilai kebaikan dan kemanusiaan. Sebab jika ilmu tidak berpihak kepada nilai-nilai, maka yang terjadi adalah bencana dan malapetaka.
Filsafat adalah ilmu yang menyelidiki segala sesuatu dengan mendalam mengenai ketuhanan, alam manusia dan manusia sehingga dapat menghasilkan pengetahuan tentang bagaimana hakikatnya sejauh yang dapat dicapai akal manusia setelah mencapai pengetahuan.
DAFTAR PUSTAKA
Anton Bakker, 1992, Ontologi dan Metafisika Umum, Kanisius Jakarta.
Depdiknas. 2003. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta : Balai Pustaka
Endrotomo, Ir. 2004. Ilmu dan Teknologi. Information System ITS.
Franz Magnis Suseno, 1991, Filsafat sebagai Ilmu Kritis, Penerbit Kanisius, Jakarta.
Poedjawijatna, Prof. Ir. 2004. Tahu dan Pengetahuan. Jakarta : Rineka Cipta.
S. Suriasumantri, Jujun. 1996. Filsafat Ilmu sebuah pengantar Populer. Jakarta : Pustaka Sinar Harapan
Jujun S. Suriasumantri, Filsafah Ilmu Sebuah Pengantar Populer,
Depdiknas. 2003. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta : Balai Pustaka
Endrotomo, Ir. 2004. Ilmu dan Teknologi. Information System ITS.
Lovelock, Christoper, 2002, Service Marketing and Management”, Second Edition Prentice Hall, New York
Muhammad Erwin, 2011, Filsafat Hukum – Refleksi Kritis Terhadap Hukum, Rajawali Press, Jakarta.
Poedjawijatna, Prof. Ir. 2004. Tahu dan Pengetahuan. Jakarta : Rineka Cipta.
Reza Wattimena, 2008, Filsafat dan Sains – Sebuah Pengantar, PT. Grasindo, Jakarta.
Russell, Bertrand, 2004, Sejarah Filsafat Barat dan Kaitannya dengan Sosio-olitik dari zaman kuno hingga sekarang (History of western Philosophy and its Connection with Political and Social Circumstances from the Ealiest Time to the Present Day), George Allen and UNWIN LTD.,London
Saeful Anwar, 2007, Filsafat Ilmu Al Ghazali – Dimensi Ontologi dan Aksiologi, Pustaka Setia, Jakarta.
\Zethaml, A, Valerie and Marry Jo Bitner, 2005, “Service Marketing”, Mc Graw Hill, New Jersey